Makalah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
 Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah studi baru muncul pada tahun 1970-an, tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam sudah muncul sejak islam itu di turunkan melalui nabi Muhammad Saw. Karena rujukan utama pemikiran Islami adalah alquran  dan hadist maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga  bersamaan dengan diturunkanya alquran pada masa kehidupan Rasulullah Saw, pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut banyak sarjana muslim yang memberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi. 
Menurut Muhammad Najatullah Ash-shiddiqy pemikiran ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan Sunnah tentang ekonomi. Objek pemikiran ekonomi islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi islam yang terjadi dalam praktik historis.
B. Rumusan Masalah
1. Pemikiran Ekonomi Islam di Masa Rasulullah SAW
2. Pemikiran Ekonomi Islam di Masa Khulafaurrasyidin
3. Pemikiran Ekonomi Islam Berdasarkan Kilasan Tokoh dan Pemikirannya

C. Tujuan
1. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan
2. Makalah ini dibuat agar pembaca memahami sejarah perekonomian yang ada di dunia 
3. Makalah ini dibuat agar pembaca mengerti bagaimana sistem perekonomian islam berjalan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perekonomian di masa Rasulullah Saw . (571-632 M)
 Pada periode Makkah masyarkat muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah pada masa Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat madinah sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa Rasulullah Saw. masih sederhana, tetapi beliau menunjukkkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekoneomi. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar untuk seluruh umat. 
Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan. Berbeda dengan tanah Makkah yang gersang sebagian tanah dimadinah relatif subur sehingga pertanian,perkebunan,peternakan dapaat dilakukan di sini. Dikota ini Rasulullah membentuk Al-Hisbah yang bertugas untuk pengawas pasar dan Baitul Mall yang berfungsi sebagai pengawas keuangan. 
Rasulullah Saw. mengawali pembangunan Madinah dengan tanpa sumber keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan masih timpang. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian, beliau mendorong kerja sama diantara anggota masyarakat sehingga terjadi peningkatan produkktivitas. Sumber pendapatan negara berasal dari beberapa sumber, namunyang paling pokok adalah dari zakat dan ushr. Sampai tahun ke 4 hijriah, pendapatan ddan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari banu nadir, kelompok ini masuk dalam piagam Madinah, tetapi mereka melanggar perjanjian sehingga mereka di taklukkan dan di paksa meninggalkan kota. Semua milik Banu Nadir dibagikan kepada Muhajirin dan Anshar yang miskin.
Pendapatan yang hampir sama berupa tanah Khaibar di kuasai pada tahun ke-7 H penduduknya menentang dan memerangi kaum muslimin, namun mereka akhirnya menyerah dengan syarat dan berjanji meningglakan tanahnya. Harta rampasan perang (ghanimah) juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relatif tidak besar jika di bandingkan dengan biaya perang yang dikeluarkan. Zakat dan ushr merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah tahunke-9 H dimana zakat mulai9 di wajibkan. Untuk orang-orng non-muslim beliau memungut jizyah sebagai sumber kontribusi dalam penyelengaraan negara.
B. Perekonomian Di Masa Khulafaurrasyidin

1. Abu Bakar As-Sidiq (51 SH – 13 H / 537 – 634 M)
Abu Bakar merupakan khalifah pertama yang di angkat setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Sebelum menjadi khalifah Abu Bakar tinggal di pinggiran kota Madinah. Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah Baitul Mal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Mal ini. Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Mal dengan beberapa waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per tahun. 
Khalifah Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah SAW.

2. Umar bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Pada masa kekhalifahan Umar banyak dibangun saluran irigasi, waduk, tangki kanal, dan pintu air seba guna untuk mendistribusikan air di ladang pertanian
Hukum perdagangan juga mengalami penyempurnaan untuk menciptakan perekonomi secara sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun pasar agar tercipta peradangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan terhadap penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalm menangani masalah zakat. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda sebesar 50% dari kekayaannya.
Pada masa beliau dibangun Institusi Administrasi dan Baitul Mal yang reguler dan permanen di Ibu Kota, yang kemudian berkembang dan didirikan pula Baitul Mal cabang di ibu kota propinsi. Baitul Mal secara tidak langsung berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam. Harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiaya penguburan orang-orang miskin, membayarkan utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat, untuk kasu-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial.
Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Mal, Umar mendirikan Diwan Islam yang disebut Al-divan. Al-divan adalah kantor yang mengurusi pembayaran tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tujangan lainnya secara reguler dan tepat.

3. Ustman bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M )
Khalifah Ustman mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Pada enam tahun pertama kepemimpinanya Balkh, Kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukan. Kemudian tindakan efektif dilakukan untuk pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon ditanam untuk diambil buah dan hasilnya dan kebijakan di bidang keamanan perdagangan dilaksanakan dengan pembentukan organisasi kepolisian tetap. 
Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal dari zakat, ushr, kharaj, fay, dan ghanimah. Zakat ditetapkan 2,5 persen dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Kharaj merupakan iuran pajak pada daerah-daerah yagn ditaklukan. Prosentase dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai kas negara.  

4. Ali bin Abi Thalib ( 23H – 40H / 600 – 661 M )
    Khalifah yang dikenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, Ali harus  mengelola perekonomian secar hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainya dia memberikan 5.000 dirham setiap tahunya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara salah satu upayanya yang fonumenta adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan islam, sebelunya khalifah islam menggunakan mata uang dinardarim Romawi dan dirham dari Persia.
C. Pemikiran ekonomi islam: kilasan tokoh dan pemikiranya
 Terminoligi pemikiran ekonomi Islam disini mengandung dua pengertian, yaitu pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh parasarjana muslim dan pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama Islam. Dalam realitas kedua pengertian ini sering kali menjadi kesatuan, sebab para sarjana muslim memang menggali pemikirannya mendasarkan pada ajaran Islam. Pemikiran ekonomi dalam ajaran Islam. Pemmikiran ekonomi dalam islam bertitik tolak dari Al-Quran dan Hadist yang merupakan sumber dan dasar utama syariat islam.   
 Nejatullah Siddiqi telah membagi sejarah pemikiran ini menjadi tiga periode, yaitu periode pertama/ fondasi (Masa awal Islam – 450 H/1058 M), periode kedua (450-850 H/1058-1446 M), dan periode ketiga (850-1350 H/1446-1932 M) . Periodesasi ini masih didasarkan pada kronologikal (urutan waktu) semata bukan berdasarkan kesamaan atau kesesuaian ide pemikiran.  Hal ini dilakukan karena studi tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam masih pada tahap eksplorasi awal. Dan ditambahkan periode kontemporer (pemikiran yang muncul sejak tahun 1930-an sampai sekarang.
1.  Periode pertama/Fondasi (Masa awal Islam-450 H/1058M)
           Pada periode ini banyak sarjana muslim yag pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang autentik. Beberapa diantaranya adalah:
a.   Zaid bin Ali (120H/798M)
 Zaid bin Ali, cucu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib merupakan ekonom pertama yang memperbolehkan adanya harga tangguh tempo lebih tinggi daripada harga tunai. Namun, ia melarang tegas riba dalam bentuk apapun.
b.   Abu Hanifa (80-150 H/699- 767 M)
 Salah satu kebijakan Abu Hanifa adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan Syariah dalam hubungan dengan jual beli dan dia menyebutkan contoh, murabahah. Dalam murabahah persentase kenaikan harga didasarkan atas kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifa dibidang perdagangan menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
c.  Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
 Abu Yusuf menekankan pentingnya prinsip keadilan, kewajaran dan penyesuaian terhadap kemampuan membayar dalam perpajakan, serta perlunya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Ia juga membahas teknik dan sistem pemungutan pajak, serta perlunya sentralisai pengambilan keputusan dalam administrasi perpajakan.  Menurutnya, negara memiliki peranan besar dalam menyediakan barang/ fasilitas publik, yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi, seperti: jalan, jembatan, bendungan, dan irigasi. Dalam aspek mikro ekonomi, ia juga telah mengkaji bagaimana mekanisme harga bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh berbagai perpajakan terhadapnya.
d. Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani (132-189 H/750-804 M)
 Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani telah menulis beberapa buku, antara lain Kitab al Iktisab fiil Rizq al Mustahab dan Kitab al Asl. Buku pertama banyak membahas berbagai aturan Syariat tentang ijarah (hiring out), tijarah (trade), ziraah (agriculture), dan sinaah (industry). Perilaku konsumsi ideal menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta- minta. Buku yang kedua membahas berbagai bentuk transaksi/ kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam (prepaid order), sharikah (partnership), dan mudharabah.
e. Abu Ubayd Al Qasim Ibn Sallam (224 H/838 M)
 Buku yang ditulis oleh Abu Ubayd yang berjudul Al Amwal yang membahas keuangan publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Didalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya.
f. Harith bin Asad Al Muhasibi (243 H/859 M)
 Harith bin Asad menulis buku berjudul Al Makasib yang membahas cara- cara memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri, dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus diperoleh secara baik dan tidak melampaui batas/ berlebihan. Laba dan upah tidak boleh dipungut atau dibayarkan secara lazim, sementara menarik diri dari kegiatan ekonomi bukanlah sikap muslim yang benar- benar Islami. Harith menganjurkan agar masyarakat harus bekerja sama dan menguk sikap pedagang yang melanggar hukum (demi mencari keuntungan).
g. Junaid Baghdadi (297 H/910 M)
 Junaid Baghdadi merupakan seorang sufi, karenanya ide- idenya tentang ekonomi tergambar dari ajaran- ajaran tasawufnya. Menurutnya, inti dari ajaran tasawuf adalah membuang motivasi untuk mementingkan diri sendiri dalam meningkatkan kualitas spiritual serta mengabdikan diri pada pengetahuan yang benar. Seorang muslim juga harus melakukan apa yang terbaik untuk kepentingan abadi, mengharapkan kebajikan untuk seluruh masyarakat, serta menjadi benar- benar beriman kepada Allah swt dengan mengikuti sunah Nabi Muhammad saw.
h. Ibn Miskwaih (421 H/1030 M)
 Ibn Miskwaih menulis buku yang berjudul Tahdib al Akhlaq yang banyak membahas tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Karenanya, menusia akan melakukan pertukaran barang dan jasa dengan kompensasi yang pas. Dalam melakukan pertukaran uang akan berperan sebagai alat penilai dan penyeimbang dalam pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan.
i. Mawardi (450 H/1058 M)
 Pemikiran Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, Al Ahkam al Sulthoniyyahdan Adab al Din wa’l Dunya. Bukunya yang pertama banyak membahas tentang pemerintah dan administrasi, juga terdapat tugas muhtasib untuk mengawasi pasar, menjamin ketepatan timbangan dan berbagai ukuran lainnya, serta mencegah penyimpangan transaksi dagang dan pengrajin dari ketentuan syariah. Buku yang kedua banyak membahas tentang perilaku ekonomi muslim secara individual yang disampaikan melalui ajaran- ajaran tasawuf tentang budi luhur dalam perekonomian dan juga membahas perilaku- perilaku yang dapat merusak budi luhur.
2. Periode Kedua (450-850 H/1058-1446 M)
 Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir- pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, diantaranya adalah:

a. Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
 Dalam pandangan Al Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan amal kebajikan mencapai maslahah untuk memperkuat sifat kebijaksanaan, kesederhanaan, dan keteguhan hati manusia. Lebih jauh Al Ghazali membagi manusia ke dalam tiga kategori, yaitu: pertama, orang yang kegiatan hidupnya sedemikian rupa sehingga melupakan tujuan akhirat. Kedua, orang yang mementingkan tujuan akhirat daripada tujuan duniawi, golongan ini akan beruntung. Dan ketiga, golongan pertengahan/kebanyakan orang, yaitu mereka yang kegiatannya sejalan dengan tujuan akhirat.
b. Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)
 Ibn Taimiyah telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas, peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara harus mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen, pedagang, dan para agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara juga harus menjamin pasar berjalan dengan bebas dan terhindar dari praktik- praktik pemaksaan, menipulasi, dan eksploitasi yang memanfaatkan kelemahan pasar sehingga persaingan dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar dari rakyatnya.
c. Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)
 Secara umum Ibn Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu sistem pasar yang bebas. Ia menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya akan efensiensi sistem pasar bebas. Ia juga telah membahas tahap- tahap pertumbuhan dan penurunan perekonomian dimana dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Ia juga menekankan pentingnya demand side economics khususnya pengeluaran pemerintah, sebagaimana pandangan Keynesian, untuk mencegah kemerosotan bisnis dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi kemerosotan ekonomi, pajak harus dikurangi dan pemerintah harus meningkatkan pengeluarannya untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
d. Nasiruddin Tusi (485 H/1093 M)
 Tusi sangat menekankan pentingnya tabungan dan mengutuk konsumsi yang berlebihan serta pengeluaran- pengeluaran untuk aset- aset yang tidak produktif, seperti perhiasan dan pnimbunan tanahtidak produktif. Ia memandang pentingnya pembangunan pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak, dimana berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syariah Islam harus dilarang.
3. Periode Ketiga (850-1350 H/1446-1932 M)
 Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terhadap beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, sebagaimana tampak dalam karya dari:
a. Shah Waliullah (1114-1176 H/1703-1762 M)
 Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran Mughal India, Waliullah mengmukakan dua faktor utama yang menyababkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dua faktor tersebut yaitu:pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif. Kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisiensi.
b. Muhammad Iqbal (1289-1356 H/1873-1938 M)
 Muhammad Iqbal dikenal sebagai filosof, sustrawan juga pemikir politik tetap sebenarnya ia juga memiliki pemikiran- pemikiran ekonomi yang brilian. Pemikirannya memang tidak berkisar tentang hal- hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih kepada konsep- konsep umum yang mendasar. Iqbal menganalisis dengan tajam kelemahan kapitalisme dan komunisme dan menampilkan suatu pemikiran ‘poros tengah’ yang dibuka oleh Islam.
4. Periode Kontemperer (1930- sekarang)
 Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara- negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya.Khurshid membagi perkembangan ekonomi Islam kontemporer menjadi empat fase yaitu:
a.  Fase Pertama
 Pertengahan 1930-an banyak muncul analisis masalah ekonomi sosial dari perspektif Islam sebagai wujud kepedulian terhadap dunia Islan yang secara umum dikuasai oleh negara- negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang ekonomi, namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi.
b.  Fase Kedua
 Pada tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentudari ilmu ekonomi Islam, terutama dari sisi moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Konferensi internasional pertama diadakan di Makkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku, baik yang dipresentasikan dalam pertemuan- pertemuan internasional maupun yang diterbitkan secara khusus.
c. Fase Ketiga
 Perkembangan ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga dimana banyak berisi upaya- upaya praktikal- operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank- bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara- negara muslim maupun di negara- negara non- muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim (dan karenanya terus disempurnakan) langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.
d. Fase Keempat
 Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komprehensif terhadapteori dan praktik ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan disini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori ekonomi Islam.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. pada masa Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat madinah sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa Rasulullah Saw. masih sederhana, tetapi beliau menunjukkkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekoneomi. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar untuk seluruh umat.
2. Para Khulafaurrasyidin adalah penerus kepemimpinan Nabi Muhammad Saw karena kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan dasar-dasar yang dibangun oleh Rasulullah Saw. Para Khulafaurrasyidin itu ialah : Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama), Umar bin Khatab (khalifah kedua),  Ustman bin Affan (khalifah ketiga) ,Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat)
3. Terminoligi pemikiran ekonomi Islam disini mengandung dua pengertian, yaitu pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh parasarjana muslim dan pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama Islam. Dalam realitas kedua pengertian ini sering kali menjadi kesatuan, sebab para sarjana muslim memang menggali pemikirannya mendasarkan pada ajaran Islam. Pemikiran ekonomi dalam ajaran Islam. Pemmikiran ekonomi dalam islam bertitik tolak dari Al-Quran dan Hadist yang merupakan sumber dan dasar utama syariat islam.   







Daftar Pustaka
Siddiqie.1992.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta: Grafindo Persada
Syed Ameer Ali,1949, A Short History of Saracens, London:Macmilan and Co.
Adiwarman Azwar Karim.2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta: Grafindo Persada
Euis Amalia.2005. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam; dari masa klasik hingga kontemporer, Depok: Gramata Publishing
Rozalinda.2014. Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nur Chamid.2010.  Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Belum ada Komentar untuk "Makalah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel