Takhsis
07.49
Tambah Komentar
Bab II
A.
Pengertian Takhsis (التخصيص)
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada
satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku
bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang
tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.[1]
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz
khas, tidak bisa terlepas dari takhsis. Menurut ulama ushul fiqh, takhsis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm
bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari
satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm
dengan dalil.
Ulama tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafadz ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafadz ‘amm Al-Qur’an adalah zanniy. Ia kadang-kadang berpegang pada lafadz ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafadz ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Ulama tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafadz ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafadz ‘amm Al-Qur’an adalah zanniy. Ia kadang-kadang berpegang pada lafadz ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafadz ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
B.
Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Dari perbedaan
pandangan muncul atas muncul masalah
antara kedua ulama dalam masalah ini. apakah boleh
men-takhsis al ‘amm yang qat’iy al tsubut dengan dalil zanniy ?
Aliran mutakalimin
(mayoritas ulama) memahami
bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada sebagian
satuan-satuanya, baik dengan dalil yang berdiri sendiri maupun dalil yang tak
berdiri, baik dengan dalil yang beriringan dengannya maupun dalil yang tidak
beriringan dengannya.
Aliran Hanafiyah fuquha’ memandang bahwa
takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada sebagian satuan-satuanya hanya dengan
dalil yang berdiri sendiri, yang beriringan dengannya. Sekiranya takhsis
terjadi dengan dalil yang tidak beriringan dengannya, dengan dalil kemudian
datangnya maka hal iti dinamakan nasakh.[2]
Perlu diketahui bahwa yang
dimaksud dalil yang qat’iy al tsubut ialah Al Qur’an dan hadist mutawatir.
Dalam hal ini, para ulama Hanafiyah memasukan pula hadis masyur karena mereka
mengapresiasinya dengan nilai mutawatir.
Penjelasan dari hadist mutawatir dan hadis masyur
sebagai berikut :
1.
Hadist mutawatir adalah hadis yang diriwiyatkan oleh sekelompok
orang yang bersumber dari sekolompok orang hingga lapis terakhir generasi
periwayatnya, yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan kolektif
dari mereka.
2.
Hadist masyhur
adalah hadis yang ada pada lapis pertama generasi perawi diriwayatkan orang,
kemudian pada lapis kedua dan seterusnya dari generasi perawi diriwiyatkan oleh
sejumlah orang yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan
kolektif dari mereka.[3]
Dalam hal ini para ulama berargumen men-takhsis
al ‘amm yang qat’iy al tsubut dengan dalil zanniy.
Aliran fuquha’ berpandangan bahwa dilalat al amm
terhadap satu satunya itu bersifat qat’iy, dan karenanya tidak boleh melakukan
takhsis al amm dengan dalil zanniy. Mereka berargumen bahwa Al Qur’an dan hadis
mutawatir, aspek ‘amm dari keduanya bersifat qat’iy al stubut, dan hal yang
demikian tidak bisa di takhsiskan dengan dalil yang zanniy karena takhsis
mengandung unsur “mengubah” (tagyir), dan pengubah yang qat’iy tidak mungkin
berupa sesuatu yang bersifat zanniy. Untuk memperkuat argumen ini saya
mengambil contoh mengutip riwayat Umar bin Al-Khattab tentang cerita Fatimah
binti Qais yang menginformasikan bahwa Rasulullah tidak menetapkan Fatimah
baginya (Fatimah) hak tempat tinggal dan memperoleh nafkah. Lalu, Umar berkata
: “Kita tidak boleh meninggalkan kitab Tuhan kita dan sunnah Nabi kita karena
perkataan seorang perempuan yang tidak kita tahu apakah ia masih ingat atau
telah lupa bahwa bagi dirinya hak bertempat tinggal dan memperoleh nafkah”.
Tetapi dalam pandangan aliran fuquha’ atau
Hanafiyah, tampak jelas Umar tidak menjadikan perkataan Fatimah sebagai
mukhassis (pengkhususkan) ke amm-an firman Allah “Berilah mereka hak bertempat
tinggal sepertri tinggal kamu,sesuai dengan kemampuanmu ” (Qs. Al- thalaq
(65):6)[4]
.
Kelompok mayoritas ulama berpendapat bahwa dilalat
al ‘amm terhadap satuan-satuannya bersifat zenniy, dan karenanya boleh
men-takhsis dengan dalil yang zenny seperti khabar ahad dan qiyas. Mereka
berargumen bahwa para sahabat Nabi telah bersepakat (ijma’ sukutiy) bahwa aspek
‘amm dari Al Qur’an dapat di-takhsis dengan hadis ahad; dan tidak ada satupun
sahabat Nabi yang mengingkari hal demikian. Diantara bukti hal ini, fakta bahwa
mereka telah men-takhis firman Allah. “dan dihalalkan bagi kalian diluar itu
semua.”(Qs. Al- Nisa’(4):24), dengan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak
boleh dinikahi seorang bersama bibinya” (HR.Muslim).
C.
Takhsis pengkhususan
1.
Istitna pengecualian
(الا )seperti
:
الا ان تكو تجار ة حا ضر ة
“ kecuali jika jual beli itu dilaksanakan secara dgang tunai” surat Al Baqoroh
282.
2.
Syarat (ان) seperti:
فليس عليكم جنا ح ان تقصرؤا من الصلا ة ان خفتم
“Maka tidak ada dosa bagi kalian untuk meringkas
sholt apabila takut” An Nisa’ 101
3.
Menambahkan kata
keterangan sifat, seperti :
من نسا ء كموالتي د خلتكموبهن
“ Dari istri kalian yang telah digauli” Surat An nisa’ 23.
4.
Alghooyah,(الي-حتي) seperti
:
وايد يكم الى المر افق
“(an basuhlah) tangan-tangan kalian sampai kesiku”
D.
Takhsis Muttasil dan Takhsis Munfasil.
Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi
dalam satu kalimat yang sama.
Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam
kalimat yang lain atau terpisah.
Takhsis Munfasil dan Takhsis jenis ini diuraikan
menjadi berbagai macam, yaitu :
1.
Takhsis Al Qur’an dengan Al Qur’an
Seperti
kalimat : “Para wanita yang diceraikan, mereka menunggu iddah (sebuah masa di
mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan
karena mati atau karena suaminya hidup) meraka harus menunggu selama tiga kali
sucian (tiga bulan dan tiga kali masa haid)”. Surat Al Baqarah 282.
Kalimat
tersebut bersifat umum (‘amm) untuk seluruh wanita yang diceraikan. Namun
ternyata ayat tersebut di-takhsiskan dengan ayat lain pada surat Al Ahzab 49
tentang para wanita yang dicerai sebelum sempat digauli suaminya yang
berbunyi:” Hai sekalian orang beriman, jika kalian menceraikan wanita-wanita
sebelum sempat kalian gauli, maka tiadalah bagi kalian menunggu iddah
perempuan-perempuan yang diceraikan itu yang kamu minta untuk
menyelesaikannya”.
2.
Takhsis Al Qur’an dengan Sunnah.
Seperti bagaian firman Allah : “Allah mewariskan
kepada kalian bahwa waris anak-anak kalian ialah bagi seorang anak laki-laki
mendapatkan dua bagian anak-anak perempuan”. An Nisa’ (10). Ayat ini mengandung
arti umum (‘amm) untuk semua anak, baik anak itu seagama atau tidak.
3.
Takhsis Sunnah
dengan Al- Qur’an.
Seperti
bunyi sebuah hadist: “ Allah tidak menerima sholat salah satu dari kalian
apabila berhadast, sampai ia berwudu”. Hadist sohih ini ditakhsis dengan firman
Allah :
“
Maka apabila kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah kalian dengan debu
yang suci dan baik”.
4.
Takhsis Sunnah
dengan Sunnah.
Seperti
hadist Nabi yang Sohih : “ Dalam (hasil pertanian) yang diairi dari air hujan,
zakatnya adalah sepersepuluh”. Kalimat yang dipakai disini bersifat umum (‘amm), baik hasil
pertanian itu sedikit atau banyak. Hadist ini ditakhsis dengan hadist sohih
yang lain, yang berbunyi: “ Tidak ada kewajiban zakat bagi hasil pertanian
dibawah lima ausuq (bagi hasil tanaman)”.
5.
Takhsis dengan Qiyas.
Contohnya adalah firman
Allah yang menyatakan bahwa hukuman bagi hamba sahaya wanita yang berbuat
asusila adalah separuh dari hukuman para wanita merdeka. Tidak ada satu ayat
dan hadist pun yang menerangkan bagaimana hukuman bagi hamba sahaya laki-laki.
Maka hukuman bagi kaum lelaki yang melanggar susila secara umum, ditakhsiskan
bahwa untuk sahaya laki-laki diqiyaskan dengan hukuman bagi hamba sahaya
wanita.
6. Takhsis dengan akal.
Takhsis dengan akal ini
boleh untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan suatu hukum. Sebagai contoh
adalah firman Allah : “Allah adalah pencipta segala sesuatu”. Surat Arro’du 16.
Maknanya adalah hakekat
segala sesuatu itu wujud dari Daya Cipta Allah, walau secara tidak langsung.
Seperti wujud sebuah mesin, adalah ciptaan manusia. Tetapi pada hakekatnya
Allah lah yang dengan kekuasanNya menyebabkan seseorang mampu membuat mesin.
7. Takhsis dengan rasa
pemahaman.
Seperti halnya takhsis
dengan akal, takhis ini berlaku untuk kasus non hukum. Seperti firman Allah
dalam surat An Anam: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang menguasai
mereka (sebagai ratu) dan dia telah dikurniai segala sesuatu,dan padanya ada
tahta agung”. Dalam ayat ini seakan semua kerajaan adalah milik dia, tetapi
kenyataanya bahwa ada banyak kurnia yang lebih besar yang dimiliki Nabi
Sulaiman.
8. Takhsis dengan kalimat
sebelumnnya.
Seperti firman Allah dalam
surat Al- A’rof 162: “Dan tanyakan pada mereka tentang sebuah desa yang berada
didekat laut”. Berdasarkan kalimat sebelumnya, yang dimaksud dengan desa itu
adalah para penduduknya, seperti firman Allah: “Yaitu tatkala penduduk desa itu
melanggar larangan Allah dihari Sabtu”.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan. Takhsis
adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz
‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada.
Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan
lafadz atau dalil ‘amm.
Dalam men-takhsis al ‘amm yang qat’iy al tsubut
dengan dalil zanniy. Aliran fuquha’ berpandangan bahwa dilalat al amm terhadap
satu satunya itu bersifat qat’iy, dan karenanya tidak boleh melakukan takhsis
al amm dengan dalil zanniy. Mereka berargumen bahwa Al Qur’an dan hadis
mutawatir, aspek ‘amm dari keduanya bersifat qat’iy al stubut, dan hal yang
demikian tidak bisa di takhsiskan dengan dalil yang zanniy karena takhsis
mengandung unsur “mengubah” (tagyir), dan pengubah yang qat’iy tidak mungkin
berupa sesuatu yang bersifat zanniy.
Ada beberpa macam-macam takhsis:
1.
Takhsis Al Qur’an dengan Al Qur’an
2. Takhsis
Al Qur’an dengan Sunnah.
3. Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an.
4. Takhsis Sunnah dengan Sunnah.
5. Takhsis dengan Qiyas.
6.
Takhsis dengan akal.
7.
Takhsis dengan rasa pemahaman.
8.
Takhsis dengan kalimat sebelumnnya.
Daftar Pustaka :
-
Prof. Dr. H. Muhaimin Amin Suma, SH. Ushul Fiqih,
Agustus 2011
-
Drs. Maman Abd. Djaliel, M.Ag, Ilmu Ushul Fiqih,
Bandung: Pustaka Setia, 2008
-
Drs. H. Zen Amiruddin Msi. Ushul Fiqih,
Yogyakarta: Juli 2009
Belum ada Komentar untuk "Takhsis"
Posting Komentar