Takhsis

                                                Bab II
                                          Pembahasan


A.    Pengertian Takhsis (التخصيص)
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang  tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.[1]
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari takhsis. Menurut ulama ushul fiqh, takhsis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil.
Ulama tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafadz ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafadz ‘amm Al-Qur’an adalah zanniy. Ia kadang-kadang berpegang pada lafadz ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafadz ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.

B.       Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Dari perbedaan pandangan muncul atas muncul masalah antara kedua ulama dalam masalah ini. apakah boleh men-takhsis al ‘amm yang qat’iy al tsubut dengan dalil zanniy ?
Aliran mutakalimin (mayoritas ulama) memahami bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada sebagian satuan-satuanya, baik dengan dalil yang berdiri sendiri maupun dalil yang tak berdiri, baik dengan dalil yang beriringan dengannya maupun dalil yang tidak beriringan dengannya.
Aliran Hanafiyah fuquhamemandang bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada sebagian satuan-satuanya hanya dengan dalil yang berdiri sendiri, yang beriringan dengannya. Sekiranya takhsis terjadi dengan dalil yang tidak beriringan dengannya, dengan dalil kemudian datangnya maka hal iti dinamakan nasakh.[2]
 Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dalil yang qat’iy al tsubut ialah Al Qur’an dan hadist mutawatir. Dalam hal ini, para ulama Hanafiyah memasukan pula hadis masyur karena mereka mengapresiasinya dengan nilai mutawatir.
Penjelasan dari hadist mutawatir dan hadis masyur sebagai berikut :
1.      Hadist mutawatir adalah hadis yang diriwiyatkan oleh sekelompok orang yang bersumber dari sekolompok orang hingga lapis terakhir generasi periwayatnya, yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan kolektif dari mereka.
2.      Hadist masyhur adalah hadis yang ada pada lapis pertama generasi perawi diriwayatkan orang, kemudian pada lapis kedua dan seterusnya dari generasi perawi diriwiyatkan oleh sejumlah orang yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan kolektif dari mereka.[3]

Dalam hal ini para ulama berargumen men-takhsis al ‘amm yang qat’iy al tsubut dengan dalil zanniy.
Aliran fuquha’ berpandangan bahwa dilalat al amm terhadap satu satunya itu bersifat qat’iy, dan karenanya tidak boleh melakukan takhsis al amm dengan dalil zanniy. Mereka berargumen bahwa Al Qur’an dan hadis mutawatir, aspek ‘amm dari keduanya bersifat qat’iy al stubut, dan hal yang demikian tidak bisa di takhsiskan dengan dalil yang zanniy karena takhsis mengandung unsur “mengubah” (tagyir), dan pengubah yang qat’iy tidak mungkin berupa sesuatu yang bersifat zanniy. Untuk memperkuat argumen ini saya mengambil contoh mengutip riwayat Umar bin Al-Khattab tentang cerita Fatimah binti Qais yang menginformasikan bahwa Rasulullah tidak menetapkan Fatimah baginya (Fatimah) hak tempat tinggal dan memperoleh nafkah. Lalu, Umar berkata : “Kita tidak boleh meninggalkan kitab Tuhan kita dan sunnah Nabi kita karena perkataan seorang perempuan yang tidak kita tahu apakah ia masih ingat atau telah lupa bahwa bagi dirinya hak bertempat tinggal dan memperoleh nafkah”.
Tetapi dalam pandangan aliran fuquha’ atau Hanafiyah, tampak jelas Umar tidak menjadikan perkataan Fatimah sebagai mukhassis (pengkhususkan) ke amm-an firman Allah “Berilah mereka hak bertempat tinggal sepertri tinggal kamu,sesuai dengan kemampuanmu ” (Qs. Al- thalaq (65):6)[4]


.
Kelompok mayoritas ulama berpendapat bahwa dilalat al ‘amm terhadap satuan-satuannya bersifat zenniy, dan karenanya boleh men-takhsis dengan dalil yang zenny seperti khabar ahad dan qiyas. Mereka berargumen bahwa para sahabat Nabi telah bersepakat (ijma’ sukutiy) bahwa aspek ‘amm dari Al Qur’an dapat di-takhsis dengan hadis ahad; dan tidak ada satupun sahabat Nabi yang mengingkari hal demikian. Diantara bukti hal ini, fakta bahwa mereka telah men-takhis firman Allah. “dan dihalalkan bagi kalian diluar itu semua.”(Qs. Al- Nisa’(4):24), dengan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak boleh dinikahi seorang bersama bibinya” (HR.Muslim).

C.                Takhsis pengkhususan
1.      Istitna pengecualian  (الا )seperti :
الا ان تكو تجار ة حا ضر ة
            “ kecuali jika jual beli itu dilaksanakan secara dgang tunai” surat Al Baqoroh 282.
2.      Syarat (ان) seperti:
فليس عليكم جنا ح ان تقصرؤا من الصلا ة ان خفتم
“Maka tidak ada dosa bagi kalian untuk meringkas sholt apabila takut” An Nisa’ 101
3.      Menambahkan kata keterangan sifat, seperti :
من نسا ء كموالتي د خلتكموبهن
“ Dari istri kalian yang telah digauli” Surat An nisa’ 23.
4.      Alghooyah,(الي-حتي) seperti :
وايد يكم الى المر افق
“(an basuhlah) tangan-tangan kalian sampai kesiku”

D.                Takhsis Muttasil dan Takhsis Munfasil.
Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.
Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.





Takhsis Munfasil dan Takhsis jenis ini diuraikan menjadi berbagai macam, yaitu :
1.      Takhsis Al Qur’an dengan Al Qur’an
Seperti kalimat : “Para wanita yang diceraikan, mereka menunggu iddah (sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena mati atau karena suaminya hidup) meraka harus menunggu selama tiga kali sucian (tiga bulan dan tiga kali masa haid)”. Surat Al Baqarah 282.
Kalimat tersebut bersifat umum (‘amm) untuk seluruh wanita yang diceraikan. Namun ternyata ayat tersebut di-takhsiskan dengan ayat lain pada surat Al Ahzab 49 tentang para wanita yang dicerai sebelum sempat digauli suaminya yang berbunyi:” Hai sekalian orang beriman, jika kalian menceraikan wanita-wanita sebelum sempat kalian gauli, maka tiadalah bagi kalian menunggu iddah perempuan-perempuan yang diceraikan itu yang kamu minta untuk menyelesaikannya”.

2.      Takhsis Al Qur’an dengan Sunnah.
Seperti bagaian firman Allah : “Allah mewariskan kepada kalian bahwa waris anak-anak kalian ialah bagi seorang anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak-anak perempuan”. An Nisa’ (10). Ayat ini mengandung arti umum (‘amm) untuk semua anak, baik anak itu seagama atau tidak.

3.      Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an.
Seperti bunyi sebuah hadist: “ Allah tidak menerima sholat salah satu dari kalian apabila berhadast, sampai ia berwudu”. Hadist sohih ini ditakhsis dengan firman Allah :
“ Maka apabila kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah kalian dengan debu yang suci dan baik”.

4.      Takhsis Sunnah dengan Sunnah.
Seperti hadist Nabi yang Sohih : “ Dalam (hasil pertanian) yang diairi dari air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh”. Kalimat yang dipakai disini bersifat umum (‘amm), baik hasil pertanian itu sedikit atau banyak. Hadist ini ditakhsis dengan hadist sohih yang lain, yang berbunyi: “ Tidak ada kewajiban zakat bagi hasil pertanian dibawah lima ausuq (bagi hasil tanaman)”.

5.      Takhsis dengan Qiyas.
Contohnya adalah firman Allah yang menyatakan bahwa hukuman bagi hamba sahaya wanita yang berbuat asusila adalah separuh dari hukuman para wanita merdeka. Tidak ada satu ayat dan hadist pun yang menerangkan bagaimana hukuman bagi hamba sahaya laki-laki. Maka hukuman bagi kaum lelaki yang melanggar susila secara umum, ditakhsiskan bahwa untuk sahaya laki-laki diqiyaskan dengan hukuman bagi hamba sahaya wanita.

6.      Takhsis dengan akal.
Takhsis dengan akal ini boleh untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan suatu hukum. Sebagai contoh adalah firman Allah : “Allah adalah pencipta segala sesuatu”. Surat Arro’du 16.
Maknanya adalah hakekat segala sesuatu itu wujud dari Daya Cipta Allah, walau secara tidak langsung. Seperti wujud sebuah mesin, adalah ciptaan manusia. Tetapi pada hakekatnya Allah lah yang dengan kekuasanNya menyebabkan seseorang mampu membuat mesin.

7.      Takhsis dengan rasa pemahaman.
Seperti halnya takhsis dengan akal, takhis ini berlaku untuk kasus non hukum. Seperti firman Allah dalam surat An Anam: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang menguasai mereka (sebagai ratu) dan dia telah dikurniai segala sesuatu,dan padanya ada tahta agung”. Dalam ayat ini seakan semua kerajaan adalah milik dia, tetapi kenyataanya bahwa ada banyak kurnia yang lebih besar yang dimiliki Nabi Sulaiman.

8.      Takhsis dengan kalimat sebelumnnya.
Seperti firman Allah dalam surat Al- A’rof 162: “Dan tanyakan pada mereka tentang sebuah desa yang berada didekat laut”. Berdasarkan kalimat sebelumnya, yang dimaksud dengan desa itu adalah para penduduknya, seperti firman Allah: “Yaitu tatkala penduduk desa itu melanggar larangan Allah dihari Sabtu”.


BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang  tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Dalam men-takhsis al ‘amm yang qat’iy al tsubut dengan dalil zanniy. Aliran fuquha’ berpandangan bahwa dilalat al amm terhadap satu satunya itu bersifat qat’iy, dan karenanya tidak boleh melakukan takhsis al amm dengan dalil zanniy. Mereka berargumen bahwa Al Qur’an dan hadis mutawatir, aspek ‘amm dari keduanya bersifat qat’iy al stubut, dan hal yang demikian tidak bisa di takhsiskan dengan dalil yang zanniy karena takhsis mengandung unsur “mengubah” (tagyir), dan pengubah yang qat’iy tidak mungkin berupa sesuatu yang bersifat zanniy.
Ada beberpa macam-macam takhsis:
1.      Takhsis Al Qur’an dengan Al Qur’an
2.      Takhsis Al Qur’an dengan Sunnah.
3.      Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an.
4.      Takhsis Sunnah dengan Sunnah.
5.      Takhsis dengan Qiyas.
6.      Takhsis dengan akal.
7.      Takhsis dengan rasa pemahaman.
8.      Takhsis dengan kalimat sebelumnnya.


Daftar Pustaka :
-          Prof. Dr. H. Muhaimin Amin Suma, SH. Ushul Fiqih, Agustus 2011
-          Drs. Maman Abd. Djaliel, M.Ag, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2008
-          Drs. H. Zen Amiruddin Msi. Ushul Fiqih, Yogyakarta: Juli 2009







[1] Ibid.
[2] Ibid.., hlm. 206-210
[3] Ibid,.
[4] Ibid.

Belum ada Komentar untuk "Takhsis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel