Contoh Makalah Asal-usul Studi Kawasan Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Satu hal yang sangat menarik seperti apa yang digambarkan selama ini, yakni Islam memiliki karekteristik global, bisa diterima dalam setiap ruang dan waktu. Namun pada sisi yang lain, saat ia memasuki berbagai kawasan wilayah, karekteristik global seolah-olah hilang melebur ke dalam berbagai kekuatan lokal yang dimasukinya. Satu kecenderungan dimana biasa Islam mengadaptasi terhadap kepentingan mereka. 
Persoalannya adalah apakah fenomena seperti ini bisa dipandang sebagai sebuahkeberhasilan Islam dalam menembus medan dakwah hingga bisa diterima dalam berbagai lapisan masyarakat lokal, sekalipun warna dan ciri keglobalannya sedikit pudar atau fenomena seperti ini justru sebagai sebuah reduksi terhadap universalitas Islam, di mana lokalisme mampu “menjinakkan” universalitas Islam sebagai satu kekuatan global.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan bagaimana asal-usul Studi Kawasan Islam ?
2. Apa pengertian Orientalisme?
3. Apa pengertian Oksidentalisme?
4. Apa maksud Dunia Islam sebagai Objek Studi Antara Timur dan Barat?
5. Apa saja Problem dan Prospek Pendekatan Studi Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dan asal-usul dari Studi Kawasan Islam.
2. Untuk mengetahui tentang orientalisme.
3. Untuk mengetahui arti dari Oksidentalisme.
4. Untuk mengetahui maksud dunia islam sebagai objek studi antara Timur dan Barat.
5. Untuk mengetahui Problem dan Prospek Pendekatan Studi Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Asal Usul Studi Kawasan Islam
Secara Etimologi merupakan dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam kajian Islam di Barat disebut Islamic Studies secara harfiyah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara terminologis adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memakai dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan. 
Pengertian Studi Kawasan Islam adalah kajiaan yang tampaknya bisa menjelaskan bagaimana situasi sekarang ini terjadi, karena, fokus materi kajiannya tentang berbagai area mengenai kawasan dunia Islam dan lingkup pranata yang ada dicoba diurai didalamnya. Mulai dari pertumbuhan, perkembangan, serta ciri-ciri karekteristik sosial budaya yang ada didalamnya, termasuk  juga tentang faktor-faktor pendukung bagi munculnya berbagai ciri dan karakter serta pertumbuhan kebudayaan dimasing-masing dunia kawasan Islam. Dengan demikian,  secara formal objek studinya harus meliputi aspek-aspek geografis, demografis, historis, bahasa serta berbagai perkembangan sosial dan budaya, yang merupakan ciri-ciri umum dari keseluruhan perkembangan yang ada pada setiap kawasan budaya. 
Dalam sejarahnya, persoalan hubungan antar batas-batas wilayah sebuah negara sebenarnya sudah sekian lama telah menjadi perhatian para ahli kegenaraan sejak jaman Yunani sekitar tahun 450-an SM. Ptolemy, Thucydidas, Hecataeus, dan Herodotus merupakan sejarawan Yunani yang cukup intens dengan kajian-kajian wilayah yang ia kenal, baik melalui cerita orang maupun dari hasil pengamatan terhadap wilayah-wilayah yang ia kunjungi. Mereka selain seorang sejarawan juga seorang pengelana.1.300  tahun kemudian, Kaum Muslimin memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengembangkan studi kawasan ini dengan berbagai  corak yang ragam yang lebih dinamis lagi. Karya-karya mereka telah melampaui sejarawan Yunani, di mana pembahasannya bukan lagi berbicara tentang realits sejarah, tetapi lebih maju lagi yakni bagaimana cara-cara menanganinya. Munculnya berbagai karya sejarah  dengan tema-tema kajian wilayah dimulai dari awal penciptaan sampai mulai dihuni umat manusia, merupakan kajian-kajian yang sangat populer dan hampir bisa ditemukan dalam karya-karya sejarah klasik Islam. Sekalipun kajian geografi sebagai disiplin ilmu agak berbeda dengan sejarah, namun dikalangan sejarawan muslim hal ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena objek pembahasan antara keduanya  saling melengkapi. Karena kajian sejarah, sangat membutuhkan kajian tentang ruang dan waktu sebagai aktivitas pelakunya. Oleh karena itu, karya-karya tentang geografi dan sejarah telah menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dari perkembangan historiografi Islam secara umum.
Karya al-Baladzuri, Futuh al-Buldan wa Ahkamuha merupakan kajian sejarah yang sangat mementingkaan tinjauan wilayah Baladzuri wafat tahun 892 M, semasa hidupnya ia menjadi penasihat para Khalifan Abbasiyah, Al-Mutawakkil ‘Alallah dan Al-Musta’in Billah, bahkan ia mendidik Al-Mu’taz. Karya monumental ini merekam seluruh proses penaklukan dan bagaimana penanganan terhadap wilayah-wilayah baru kaum muslimin, seperti Syam, Irak, Mesir, Maroko, Armenia, serta wilayah-wilayah Persia lainnya. Secara metodologis dia tidak hanya mengandalalkan fakta tulis atau riwayat pengalaman pelaku, tetapi ia juga berhasil melihat dimana wilayah-wilayah yang dijelaskannya hampir seluruhnya sudah ia kunjungi.
Al-Ya’qubi seagai Pegawai di kekhalifahan Abbasiah dan diperkirakan meninggal tahun 292 H, telah menulis karya al-Buldan (jama’ dari balad; negara-negara) membicarakan bukan hanya cara-cara penaklukkan dan penanganan wilayah-wilayah Islam, tetapi juga berbaai potensi sumber daya alam dan ekonomi tiap-tiap wilayah ia gambarkan secara jelas. Sebagai penulis ia telah mengunjungi semananjung India, Arab, Syam, Palestina, Libya, Aljazair, dan Sebagainya. Ia mencari sumber-sumber otoritatif dalam aspek-aspek geografi wilayah-wilayah Islam. Sebagai seorang pengelana dan Sejarawan ia telah mengunjungi dan mengamati lebih dari 70 kota dan wilayah Islam baik di Afrika Utara, Asia maupun Spanyol.
Al-mas’udy, penulis Maruj al-Dzahab ini mengawali pengetahuaan tentang heografi dan sejarah dari hasil pengembaraan nya ke berbagai wilayah, bailk wilayah muslim maupun wilayah non muslim, ia banyak menerima berbagai informasi sehingga penjelasannya tentang keberadaan dan sejarah wilayah sangat kaya. Ia sangat menguasai adat istiadat dan pembangunan, pola kehidupan setiap masyarakat yang dikunjunginya, termasuk bahasa dan punya keakraban dengan tokoh lokal. Karya ini ditulis tauhun 947 M, ia meninggal tahun 956 M di Fusthath.
Al-Birruny, penulis kitab al-Hind merupakan sejarawan yang ahli dalam kajian wilayah India. Bukan hanya sebagai sejarawan tetapi ia juga ahli dalam penelitian dan observasi dalam ilmu-ilmu lainnya. Sebagai seoarang penasihat dinasti Ghaznawy, Sultan Mahmud Ghazna ia bekerja bukan hanya untuk kepentingan pemerintahan, tetapi juga menjelaskan secara objektif keberadaan wilayah, keagamaan, mentalitas penduduk, pemeikiran India dan bagaimana semestinya harus ditangani oleh para penguasa muslim. Kitab al-Hind ini ditulis tahun 1017 M.
Sebenarnya banyak sekali berbagai studi yang telah dilakukan oleh para sarjna muslim klasik dan pertengahan dan melihat berbagai kawasan dan kantong-kantong kaum muslimin di bebagai wilayahnya. Perhatian mereka terhadap potensi-potensi wilayah,  baik Desa, Kota maupun berbagai kegiatan kependudukannya, jelas membuktikan bahwa studi kawasan-kawasan Islam sepanjang sejarahnya selalu menarik perhatian. Sejarah wilayah seperti Halb, Mesir, dan sebagainya yang menjadi objek studi, telah ditulis Bughyat al-Thalib fi Tarikh al-Halab.
Begitu banyak orang mengkaji wilayah dengan berbagai variasinya, dan setiap periode menunjukkan trend yang berbeda-beda. Namun, dalam perkembangan sejarahnya, istilah geopolitik baru lahir sebagai istilah baru abad ke-19, sebagai bagian dari konsep “geo-strategy” bangsa Jerman yang dikembangkan oleh Otto van Bismarck, dengan “unification of the German States.” Teori ini pada akhirnya menjadi suatu bagian yang lebih luas lagi dari kajian Geografi secara umum. Tahun 1890 Alferd Thayer menulis tentang  “The Influence of Sea Power Upon History.” Rudolf Kjellen ahli geografi politik Swedia kemudian memunculkan istilah kekuatan wilayah (the power of area) di akhir abad ke-19. Tulisannya ini kemudian mengilhami Friedrich Ratzel seorang ahli Ilmu alam, untuk merumuskan teori “geopolitik” secara utuh dalam bukunya “politische Georaphie” tahun 1879. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa setiap negara selalu mengupayakan wilayah kesatuaanya dan membentenginya terhadap upaya-upaya negara lain untuk merebut tanah wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu, semua negara (Nasionalisme) ingin hidup dalam wadah wilayah kesatuan bagi kehidupannya. 
B. Orientalisme.
Oriental artinya ‘timur’. Orientalisme adalah paham mengenai masalah-masalah Timur, khususnya tentang negeri Arab dan Islam. Kaum orientalis adalah para terpelajar yang menjadikan “agama islam, kebudayaan Islam, negeri dan bahasa Arab” sebagai objek materi studi mereka. Lawan dari orientalisme adalah occidentalisme, yaitu penelitiandan pengertian mengenai agama, kebudayaan, dan negeri Barat. 
Salah satu tujuan orientalis adalah mengkolonialisasi dunia Islam dari segala aspek, agama, ekonomi, budaya dan kekuasaan.Orientalis dan tujuan Barat mempelajari islam, bukan untuk mencari keimanan yang benar. Menurut Syamsuddin, ada empat alasan mengapa Barat mempelajari Islam. Pertama, terpesona terhadap studi Islam (facsination), Kedua ingin tahu (curiosity). Ketiga agama (missionary). Keempat karena God (tuhan/agama), gold (kekayaan/imprealisme), dan glory (kekuasaan) atau sering diistilahkan 3G.
C. Oksdidentalisme
Lawan dari orientalisme adalah occidentalisme, yaitu penelitiandan pengertian mengenai agama, kebudayaan, dan negeri Barat.  Jadi secara harfiah berarti hal-hal yang berhubungan dengan barat, adalah kajian tentang Barat dari prespektif non-barat. Kelahiran oksidentalisme emosional atas kesalahan-kesalahan dari Barat yang dialami dunia Timur pada umumnya dan dunia islam khususnya. Barat dengan segala implikasinya telah berjaya menguasai Timur. Penguasaan, atau lebih tepatnya kolonialisme Barat atas Timur ini dalam perjalanan sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari orientalisme. Dengan demikian, terbentuknya oksidentalisme adalah sebagai upaya untuk mengikis serangan Barat yang sudah semakin meluas wilayah jangkauannya. 


D. Dunia Islam Sebagai Objek Studi Antara Timur dan Barat
Menurut Taufik Abdullah, agama sebagai sasaran kajian dapat di kategorikan menjadi tiga, yakni agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat  yang dibentuk oleh agama,dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin. Kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran agama.namun yang menjadi sasaran penelitian agama sebagai doktrin adalah pemahaman agama terhadap doktrin-doktrin tersebut. Kategori kedua, meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah. Sementara kategori ketiga merupakan usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran islam. Secara terperinci dalam mempelajari agama, ada lima bentuk fenomena agama sebagai bentuk kebudayaan yang perlu diperhatikan, lima ha tersebut adalah:
1) Naskah-naskah (scripture) atau simbol-simbol agama.
2) Sikap, perilaku,dan penghayatan para penganut tokoh-tokoh agama.
3) Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat agama, seperti shalat, haji, puasa, zakat, nikah, dan lain sebagainya.
4) Alat-alat atau sarana peribadatan.
5) Lembaga atau organisasi keagamaan tempat para penganut agama bergumul berperan.
a. Studi Islam di Barat
Ditinjau dari prespektif sejarah, studi yang dilakukan orang Indonesia di Barat berlangsung cukup lama. Namun demikian fokus studi yang dilakukan belum menyentuh secara menyeluruh dalam bidang kajian islam. Fokus kajian islam baru dilakukan setelah Indonesia merdeka. Dan orang Indonesia pertama kali yang melakukan Studi Islam di Barat adalah M. Rasijidi. Menteri pertama indonesia ini menanamkan program doctor di universitas Sorbone, Perancis. Para alumni barat memiliki pengaruh dalam kontribusi besar dalam Studi Islam di Indonesia.
b. Studi Islam di Timur
Hampir sama  yang terjadi di Barat, studi islam di Timur Tengah juga bervariasi. Ini merupakan hal yang wajar karena karakteristik studi Islam dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya kebijakan politik, dinamika sosial budaya latar belakang pemegang kebijakan pendidikan perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
E. Problem dan Prospek Pendekatan Studi Islam
Dalam dunia ilmu pengetahuan, menurut Parsudi Suparlan makna dari istilah “pendekatan” adalah sama dengan “metodologi” yaitu “sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji”.  Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat di dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.  Untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, agama harus menjadi kebudayaan bagi masyarakat. Karena setiap masyarakat mememiliki kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial dan kebutuhan adab yang integratif. Jadi pendekatan studi area merupakan pendekatan yang meliputi bidang kesejarahan, linguistik, dan semua cabang ilmu serta pengetahuan yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan terhadap keadaan masyarakat di suatu wilayah atau kawasan. Problematika yang dihadapi pada penelitian dengan menggunakan pendekatan studi area dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim., berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan diselidiki. Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan semakin luas wilayah yang dijangkaunya, maka segala persiapan yang diperlukan untuk menerapkan studi area, juga semakin besar. 
A. Prospek pendekatan studi area, sebenarnya boleh dikatakan sangat baik. Hal ini mengingat perlunya dibangun saling pengertian dan kerjasama antar komunitas muslim dunia yang meliputi luas wilayah mencapai 31,8 juta km2 atau sebanding dengan 25 % dai seluruh wilayah dunia, memanjang mulai dari Indonesia di sebelah timur hingga Senegal di sebelah barat, serta dari utara Turkistan hingga ke selatan Mozambik, dengan jumlah populasi umat Islamnya 1.334.000.000 jiwa, mayoritas hidup di dunia Islam (± 1 miliar) dan selebihnya hidup sebagai minoritas muslim (± 334.000.000). Minoritas muslim tersebut yang terbanyak berada di India dan Cina. 
B. Pada penelitian kasus Islam dan budaya lokal, persoalan akulturasi timbal balik antara lingkungan budaya dan ekspresi keagamaan seseorang, maka ada perbedaan yang menarik antara corak penyebaran Islam di Indonesia dan di Maroko. Kalau di Indonesia penyebaran Islam dilakukan oleh para penyebar Islam cenderung damai dan akomodatif, sedangkan di Maroko lebih bersifat oposisional, tegas, dan agresif. Seperti kata Geertz, “in Marocco civilization was built on nerve; in Indonesia, on diligence” (Di Maroko, peradaban Islam dibangun di atas saraf, di Indonesia, di atas ketekunan). Hal ini dapat kita lihat pada tokoh penyebar Islam di Indonsia dan di Maroko. Sunan Giri atau Sunan Kalijaga di Indonesia, cenderung damai, rukun, tekun, dan sinkretis, sementara Sidi Lahsen Lyusi atau Ali Hasan ibn Mas’ud al-Yusi di Maroko menyebarkan Islam dengan pemahaman yang murni dan cenderung tidak kompromistis. Namun mereka semua diakui oleh masyarakatnya masing-masing sebagai wakil yang sah bagi corak keislaman di masing-masing wilayah tersebut. Di Indonesia pengakuan tersebut tercermin pada pemberian gelar kehormatan Wali Songo, sedangkan di Maroko dengan gelar Sidi. Kedua gelar kehormatan tersebut mengandung penghargaan sebagai Wali Allah yang sangat kental dan dipercayai memiliki karomah (orang jawa abangan menyebutnya: keramat).
C. Dari kasus yang telah dikemukakan di atas, ternyata perbedaan area dan lingkunan sosio-kultural saling terkait erat dalam wujud dan semangat keberagamaan yang berbeda antara di Indonesia dan di Maroko. Maroko yang merupakan negeri padang pasir yang tandus dan keras dengan pola kehidupan sosial kesukuan yang kuat (tribalisme). Berbeda di Indonesia dengan Pulau Jawa-nya yang merupakan daerah pertanian yang subur, damai, dan rukun. Fakta adanya kaitan antara keadaan geografis, klimatologis, kesuburan tanah, kemelimpahan sumber daya alam suatu daerah dengan watak penduduknya, telah lama menjadi kajian para sarjana muslim, seperti Ibn Khaldun, dalam karyanya yang termasyhur, Muqaddimah, di situ Ibn Khaldun membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing terhadap watak penduduknya. Ia bahkan mengemukakan teorinya tentang pengaruh keadaan suhu suatu daerah terhadap akhlaq serta perilaku orang-orang setempat. Syahristani, dalam kitabnya yang juga amat terkenal, al-Milal wa an-Nihal, mengupas tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak geografisnya, menjadi Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Bangsa-bangsa Barat berbeda dengan bangsa-bangsa Timur, dan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi utara berbeda dengan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi selatan. Ia juga menyebutkan empat bangsa induk di dunia, yaitu Arab, Persia, India, dan Roma (Barat), menurutnya Bangsa Arab dan India, keduanya memiliki kemiripan, yaitu keduanya cenderung pada pengamatan ciri-ciri khusus dari suatu kenyataan dan membuat penilaian berdasarkan pandangan mengenai substansi dan hakikat kenyataan itu melalui pertimbangan keruhanian. Sedangkan Bangsa Persia dan Roma mempunyai kesamaan dalam kecenderungan melihat suatu kenyataan dari tabiat luarnya, kemudian memberikan penilaian menurut ketentuan-ketentuan kualitatif dan kuantitatif dengan pertimbangan berdasarkan keadaan secara fisik. 

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam  berkembang melalui  proses perjalanan sejarah yang panjang dan kultur yang berbeda melihat dimana Islam itu berkembang. Perbedaan latarbelakang sejarah dan budaya mempunyai ukuran yang sama tentang ke-Islaman.
Pandangan agama dapat berubah dan dibenarkan berbeda karena perbedaan waktu, zaman, lingkungan, stuasi dan sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah.
Maka studi ke-Islaman di wilayah-wilayah secara objektiv akan berhasilkan pandangan dan aplikasi Islam yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di wilayah lainnya. Oleh karena itu, sangat didambakan untuk munculnya pusat-pusat studi Islam untuk dapat menyahuti persoalan yang terus berkembang di masa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA 
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Penerbit Akbar, 2004.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani,  2004
Azra, Azyumardi. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Clifford Geertz, Islam Observed .Chicago: Chicago University Press, 1975
Khaldun,Ibn. Muqaddimah .Beirut: Dar al-Fikr, 1981. dikutip dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban
Nasution, Harun.Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek.Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, Cet. VI, 2001.
Ridwan, Ahmad Hasan. 2010. Oksidentalisme. URL :www.knowledge-leader.net/2010/07/oksidentalisme/
Ridwan, M. Deden. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin. Bandung: Nuansa Ilmu, 2001.
Suparlan , Parsudi, “Kata Pengantar” dalam Roland Robrtson, Agama Dalam Analisis Dan Interpretasi Sosiologis Jakarta: Rajawali Press, 1988
Syahristani. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.dikutip dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban.

Belum ada Komentar untuk "Contoh Makalah Asal-usul Studi Kawasan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel