Contoh makalah Kaidah al- umuru bi maqosidiha

BAB I
PENDAHULUAN
A. Rumusan Masalah 
Niat menjadi syarat mutlak bagi kita semua dalam segala aspek perbuatan, niat akan menentukan kualitas individu tertentu. Ini adalah sebuah hal mudah tapi tidak menutup kemungkinan orang selalu mengabaikan hal ini. Yang akan kami bahas  dalam makalah ini adalah kaidan – kaidah cabang dari Al-Umuru bi Maqasidiha (perkara-perkara itu tergantung kepada maksudnya atau niatnya) adalah tema yang cukup menarik perhatian untuk segala aspek. 
Betapa pentingnya sebuah dorongan (motivation) yang ada dalam diri seseorang ketika ingin bekerja. Segala pekerjaan, perbuatan ataupun yang hal lainnya tidak akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan jika tidak adanya sebuah motivasi di dalam diri seseorang. Motivasi bisa diidentikkan dengan niat dalam hal sama-sama bisa menjadi pendorong untuk melakukan sesuatu. Namun, niat lebih kompleks daripada motivasi, sebab niat itu menyatunya keinginan yang kuat(Azimah), rencana yang matang, dan dibarengi dengan aksi atau perbuatan. Meski demikian, membangun sebuah motivasi yang benar sama dengan memasang niat yang benar dan tulus, agar ia juga terdorong untuk bekerja dengan benar
B. Rumusan Masalah 
1. Apa pengertian Kaidah al- umuru bi maqosidiha ?
2. Apa saja  Cabang – cabang kaidah al – umuru bi maqosidiha?
3. Apa saja dasar dalil kaidah al – umuru bimaqosidiha ?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kaidah AL – Umuru bi Maqosidiha
اِنَّمَا الْاعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
Artinya: “Sesungguhnya sahnya amal adalah digantungkan kepada niat”. 
Menurut Imam Baihaqi,hadist diatas merupakan sepertiganya ilmu karena ibadah seseorang harus terdiri dari tiga unsur,yaitu:
1. Bi Qolbihi (dengan hatinya)
2. Bi Lisanihi (dengan lisannya)
3. Bi Jawarihihi (dengan anggota tubuhnya). 
Yang berarti segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung dalam didalam hati seseorang saat melakukan perbuatan,menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan,baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan.
Dengan demikian,setiap perbuatan itu pasti didasarkan pada motivasi, jika tidak,maka perbuatan tersebut bersifat spikulatif. Karenannya,niat atau motivasi tu memiliki posisi yang penting sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan kontruksi pekerjaan yang dilakukan yang berkonsentrasi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak. 
Menurut ulama, niat dilihat dari beberapa aspek diantaranya:syarat-syarat niat,tata cara niat,waktu niat,tujuan niat,dan tempat niat. 
B. Kaidah – Kaidah Cabang AL Umuru bi Maqosidiha 
1.   العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
Artinya: Pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya. 
Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.

2.  لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب
Artinya: Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati). 
Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.

3. لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
Artinya: Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan. 
Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.

4. كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة
Artinya: Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah). 
 Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara: 
a. Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.
b. Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam.
c.  Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.

5. كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
Artinya: Setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena semata-mata niat). 
Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.

6. مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
Artinya: Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qadi. 
Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi. Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.

7. الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
Artinya: Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). 
Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT. 

8. النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص 
Artinya: Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas). 
Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. 
Contoh: yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman  dari orang lain. Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.


9. ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
Artinya: pada suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal).
kaidah fikih yang menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal yang menuntut kejelasan niat, kesalahan  berimplikasi terhadap batal amal tersebut.  

10. ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
Artinya: Sesuatu amal yang niatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal.
Contoh seorang yang berniat menjadi makmum dari imam bernama Bayu, pada hal imamnya bernama Wisnu, maka solatnya menjadi batal, sebab yang wajib baginya hanya ta’yin secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan ta’yin secara terinci, yaitu menentu siapa nama imamnya. Jika demikian, solatnya dianggap batal dan tidak sah.

11. مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر
Artinya: Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya amal).
Melalui kaidah fikih ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat bahwa tempat pelaksanaan sholatnya dimasjid atau musalla atau menyebutkan hari tertentu imam tertentu dalam sholat berjamaah, lalu terbukti kemudian apa yang dinyatakan dalam niat itu keliru, maka sholat yang bersangkutan tetap sah secara hukum. Hal ini mengingat sholat yang dilakukan orang tersebut secara sempurna. Sementara kekeliruan niat terjadi hanya pada sejumlah persoalan yang tidak mempunyai kaitannya dengan sholat.
Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat. 

C. Dasar Dalil kaidah
Ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1.      Q.S Al Bayyinah ayat:5
             •      
 Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian Itulah agama yang lurus.  
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas,
2.      Q.S Ali 'Imran ayat: 145
....                  
Artinya: ......barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.  
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberikan balasan kepada hambanya sesuai dengan maksud dan tujuan hamba tersebut melaksanakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan tujuan duniawi, Ia akan membalasinya dengan pahala dunia. Sementara orang yang melaksanakan suatu perbuatan untuk kepentingan akhiratnya, Allah akan membalas dengan pahala di akhirat.
3.      Q.S Al-Baqarah ayat:225 dan 256 Allah juga berfirman:
               
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun
           •                 
Artinya: Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak
menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.  
4.      Q.S Al-Ahzab ayat 5:
                      •         
 Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  
Hadist juga di jelaskan tentang pentingnya peran maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan seperti berikut:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhary).  
أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ عَبْدَةَ بْنِ أَبِي لُبَابَةَ عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَالَفَهُ سُفْيَانُ أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ عَبْدَةَ قَالَ سَمِعْتُ سُوَيْدَ بْنَ غَفَلَةَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ مَوْقُوفًا
“Telah mengabarkan kepada kami Harun bin 'Abdullah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Husain bin 'Ali dari Zaidah dari Sulaiman dari Habib bin Abu Tsabit dari 'Abdah bin Abu Lubabah dari Suwaid bin Ghafalah dari Abu Ad Darda' yang sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa yang hendak tidur dan ia berniat untuk shalat malam, lalu ia tertidur hingga datang waktu subuh maka ia mendapat pahala apa yang ia niatkan, dan tidurnya adalah sedekah baginya dari Allah Azza wa Jalla." Sufyan menyelisihinya. Telah mengabarkan kepada kami Suwaid bin Nasr ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdullah ia berkata; dari Sufyan Attsauri dari Abdah ia berkata, Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah dari Abu Dzar dan Abu Darda' secara mauquf.” (HR. al-Nasai).
 نية المؤمن خيـرمن عمله                                                           
"Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya" (HR. Tabrani dari Sahal bin Sa'id al-Sa'îdî( 

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan 
Pengertian dari al umuru bi Maqosidiha yaitu segala sesuatu tergantng pada tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung dalam didalam hati seseorang saat melakukan perbuatan,menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan,baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan. 
Kaidah al – umuru bimaqosidiha di sini memiliki beberapa cabang kaidah yaitu:
1. العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
2. لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب
3. لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
4. كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة
5. كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
6. مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
7. الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
8. النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص 
9. ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
10. ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
11. مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر
Dan beberapa dalil nya yaitu terdapat pada :
1. Q.S Al Bayyinah ayat:5
2. Q.S Ali 'Imran ayat: 145
3. Q.S Al-Baqarah ayat:225 dan 256:


DAFTAR PUSTAKA
Djazuli A. Kaidah-kaidah fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana,2007.
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Padang: IAIN Press 2010
Khusnan Manshur M Yahya Ats-Tsamarot Al-Mardliyyah. Jombang:Pustaka Al-Muhibbin
Zein M. Ma’shum ,Pengatar Memahami Nadhom Al-Faroidul Bahiyyah, Jombang: Darul Hikmah,2010

Belum ada Komentar untuk "Contoh makalah Kaidah al- umuru bi maqosidiha "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel