contoh makalah cara periwayatan dan periwayatan hadis oleh Anak-anak, orang kafir dan orang Fasik
07.52
Tambah Komentar
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penerimaan hadis itu harus memenuhi aturan yang ada. Boleh merekah
mendengarkan ketika sudah mengetahui
mana sapi dan mana kuda. Harus memenuhi sara-tertentu yang mana sarat
itu untuk kelestarian hadi itu sendiri.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang
mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya
pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang
besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap
pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits.
Untuk itu kami akan mengungkap tentang metode penerimaan hadis yang
dapat menjelaskan periwayatan dan penerimaan hadis dari Rasululloh.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara periwayatan hadis oleh Anak-anak, orang kafir dan orang
Fasik ?
2.
Bagaimana cara penerimaan hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periwayatan Hadis
1.
Periwayatan hadist oleh anak-anak
Jumhur ulama
hadis perpendapat bahwa penerimaan periwayatan suwatu hadisoleh anak-anak belum
cukup umur (belum mukalaf) dianggap sah apabila periwayatan kepada orang
lain sudah (mukalaf). Hal itu didasarkan kepada para sahabat, tabi’in,
dad ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis, sepertihasan,husain
dan lain-lain tanpa mepermasalahkan apakah merekah telah balig atau belum.
Namun merekah berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang
diperbolehkan, sebab permasalahan ini ketamyizan anak.[1]
Al-qodi iyad
mengatakan bahwa usia anak diperbolehkan ber-tahamul adalah lima tahun karena
pada usia ini anak sudah mampuh menghapalkan sesuwatu dan mengingat- ingat
hapalanya. Riwayat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhori,
عَقَلْتُ مِنَ ا
لنَّبِيِّ صَلَي ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَهَا فِيْ وَ جْهِى مِنْ دَ
لْوٍ وَ اَ نَا ا بْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ
“Aku ingat ketika Nabi Muhammad SAW.
Meludahkan air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedangkan pada saat itu aku
berusia lima tahun.”[2]
Syarat
Penerimaan dan Penyampaian Hadis telah ditetapkan oleh para ahli hadis
semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindak pemalsuan. Menurut
para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-syarat penerimaan dan
syarat-syarat periwayatan hadis. Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan
hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriawatkannya
ia telah masuk Islam dan mukallaf. Sedangkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
1.
Islam.
2.
Balig.
3.
Berakal.
4.
Tidak fasik.
5.
Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan
kehormatan.
6.
Mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya.
7.
Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat
dipercaya.
8.
Sangat mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang
diriwayatkannya secara makna
Tampak bahwa
syarat-syarat yang ditetapkan ulama terhadap periwayat yang melakukan kegiatan
periwayatan hadis lebih ketat daripada persyaratan ketika menerima hadis. Namun
demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima hadis paling tidak harus
memenuhi dua syarat, yaitu: (1) sehat akal pikirannya, dan (2) secara fisik dan
mental orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang
diterimanya.[3]
2.
Periwayatan hadis oleh orang kafir dan orang fasik
Mengenai
penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik jumhur ulama
ahli hadis sepakat untuk menganggap sah, asalkan hadis tersebut
diriwayatkan kepada orang telah masuk islam,[4]
- Penerimaan
Hadis
- Al-Sima'
Yakni medengar sendiri
dari perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik
dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar
apa yang disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini
merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Termasuk kategori
sama' juga seorang yang mendengar hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur
ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah
melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui para
istri Nabi. Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis
atas dasar sama', ialah:
أخبرنى، أخبرنا (seseorang mengabarkan kepadaku/kami)
حدثنى، حدثنا(seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
سمعت، سمعنا (saya telah mendengar, kami telah mendengar)
- Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara
penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik
dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan
atau menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya
atau mengetahui tulisannya. Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan
hadis-hadis yang berdasarkan qiraah:
قرآت عليه (aku telah membacakan dihadapannya)
قرئ على فلان و أنا أسمع (dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه (telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه (telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)
- Ijazah
yakni Seorang guru
mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan atau
tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya
: Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam
ijazah adalah
a. Syaikh mengijazahkan
sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku
ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang
paling tinggi derajatnya
b. Syaikh mengijazahkan
orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti
mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan
kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang
diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua
orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan
kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku
ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat
sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan
ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang
hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si
fulan dan keturunannya”.
Lafadh-lafdh yang
dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah
ajaza li fulan – أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana
ijaazatan – حدثنا إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana ijaazatan – أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan
kepada kami secara ijazah).
- Al-Munaawalah
Yakni seorang guru
memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya
untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua
macam :
a.
Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di
antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini
riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut
dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka
diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah
daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b.
Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”.
Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
- Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh
menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang
yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang
disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa
yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara
ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai
ijazah.
b. Kitabah yang tidak
disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya
dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui
bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
- Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh
memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya
dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii
syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah memberitahu kepadaku).
- Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh
mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang
ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan
riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin
– أوصى إلي فلان بكتاب (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii
fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
- Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi
mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh
itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah
ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini
dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca
buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1) Secara etimologis, ar-Riwayah
berasal dari kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti naqala wa
dzakara, yakni membawa atau mengutip; memindahkan atau menyebutkan. Dari
sini kemudian dipakai riwayat al-Hadits yang artinya menyampaikan hadis.
2) Syarat-syarat yang
telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
·
Islam
·
Balig
·
Berakal
·
Tidak fasik
·
Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan
·
Mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya
·
Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya
3) Dapat disebutkan bahwa
metode periwayatan hadis Nabi itu ialah:
·
a) As-sama’
·
b) Qira’ah
·
c) Ijazah
·
d) Munawalah
·
e) Mukatabah
·
f) I’lam
·
g) Wasiyah, dan
·
h) Wijadah
B. Kritik dan Saran
Akhirnya kami dapat
merampungakan makalah yang sederhana ini, berkat semangat dan motivasi dari
para dosen dan teman-teman yang selalu gigih memberikan masukan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini sedikit memberi manfaat kepada
semua orang terutama bagi penulis. Namun kami menyadari makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka dengan terbuka kami sangat mengharapkan dari pada
kritik dan saran yang bersifat membangun, dari para pembaca dan teman-teman
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Bukhori. Shohih Bukhori. Bairut: Darul Jadid. T.t.
Ismail, Syuhudi. Kaedah-Kaedah
Kesahihan Sanad. Jakarta: Bulan Bintang.
1995.
Misbah. Mutiara Ilmu Hadis. Kediri: Mitra Pesantren. 2013.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Zen, Moh. Maksun. Ulumul Hadis. Jombang: Darul Hikmah. 2008.
[1] Drs. H.
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia. 2008), 181.
[2] Bukhori, Shohih
Bukhori (Bairut: Darul Jadid, T.t), 223.
[3] Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah
Kesahihan Sanad (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). 109.
[4] Misbah, Mutiara
Ilmu Hadis (Kediri: Mitra Pesantren, 2013), 225.
[5] Drs. Moh.
Maksun Zen, Ulumul Hadis (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 213-217.
Belum ada Komentar untuk "contoh makalah cara periwayatan dan periwayatan hadis oleh Anak-anak, orang kafir dan orang Fasik"
Posting Komentar