contoh makalah cara periwayatan dan periwayatan hadis oleh Anak-anak, orang kafir dan orang Fasik

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penerimaan hadis itu harus memenuhi aturan yang ada. Boleh merekah mendengarkan ketika sudah mengetahui  mana sapi dan mana kuda. Harus memenuhi sara-tertentu yang mana sarat itu untuk kelestarian hadi itu sendiri.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits.
Untuk itu kami akan mengungkap tentang metode penerimaan hadis yang dapat menjelaskan periwayatan dan penerimaan hadis dari Rasululloh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara periwayatan hadis oleh Anak-anak, orang kafir dan orang Fasik ?
2.      Bagaimana cara penerimaan hadis ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Periwayatan Hadis
1.      Periwayatan hadist oleh anak-anak
Jumhur ulama hadis perpendapat bahwa penerimaan periwayatan suwatu hadisoleh anak-anak belum cukup umur (belum mukalaf)  dianggap sah apabila periwayatan kepada orang lain sudah (mukalaf). Hal itu didasarkan kepada para sahabat, tabi’in, dad ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis, sepertihasan,husain dan lain-lain tanpa mepermasalahkan apakah merekah telah balig atau belum. Namun merekah berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan, sebab permasalahan ini ketamyizan anak.[1]
Al-qodi iyad mengatakan bahwa usia anak diperbolehkan ber-tahamul adalah lima tahun karena pada usia ini anak sudah mampuh menghapalkan sesuwatu dan mengingat- ingat hapalanya. Riwayat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhori,
عَقَلْتُ مِنَ ا لنَّبِيِّ صَلَي ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَهَا فِيْ وَ جْهِى مِنْ دَ لْوٍ وَ اَ نَا ا بْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ
“Aku ingat ketika Nabi Muhammad SAW. Meludahkan air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedangkan pada saat itu aku berusia lima tahun.”[2]
Syarat Penerimaan dan Penyampaian Hadis telah ditetapkan oleh para ahli hadis semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindak pemalsuan. Menurut para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-syarat penerimaan dan syarat-syarat periwayatan hadis. Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriawatkannya ia telah masuk Islam dan mukallaf. Sedangkan syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai berikut:

1.      Islam.
2.      Balig.
3.      Berakal.
4.       Tidak fasik.
5.      Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan.
6.      Mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya.
7.      Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya.
8.      Sangat mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya secara makna
Tampak bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama terhadap periwayat yang melakukan kegiatan periwayatan hadis lebih ketat daripada persyaratan ketika menerima hadis. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima hadis paling tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu: (1) sehat akal pikirannya, dan (2) secara fisik dan mental orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.[3]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
2.      Periwayatan hadis oleh orang kafir dan orang fasik
Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik jumhur ulama ahli hadis sepakat untuk menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang telah masuk islam,[4]
  1.   Penerimaan Hadis
  1. Al-Sima'
Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Termasuk kategori sama' juga seorang yang mendengar hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi. Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah:

  
أخبرنى، أخبرنا  (seseorang mengabarkan kepadaku/kami)

 
  حدثنى، حدثنا(seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
                                                   
سمعت، سمعنا   (saya telah mendengar, kami telah mendengar)

  1. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya. Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan qiraah:

قرآت عليه  (aku telah membacakan dihadapannya) 

 
قرئ على فلان و أنا أسمع  (dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه  (telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)


  1. Ijazah
yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan   mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.

Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan – أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan – حدثنا إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana ijaazatan – أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).

  1. Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a.       Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b.      Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

  1. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.


  1. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي  (guruku telah memberitahu kepadaku).

  1. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – أوصى إلي فلان بكتاب  (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

  1. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.[5]








BAB III
PENUTUP                                                            
A.    Kesimpulan
1)      Secara etimologis, ar-Riwayah berasal dari kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti naqala wa dzakara, yakni membawa atau mengutip; memindahkan atau menyebutkan. Dari sini kemudian dipakai riwayat al-Hadits yang artinya menyampaikan hadis.
2)      Syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
·         Islam
·         Balig
·         Berakal
·         Tidak fasik
·         Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan
·         Mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya
·         Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya
3)      Dapat disebutkan bahwa metode periwayatan hadis Nabi itu ialah:
·         a)      As-sama’
·         b)      Qira’ah
·         c)       Ijazah
·         d)      Munawalah
·         e)       Mukatabah
·         f)        I’lam
·         g)      Wasiyah, dan
·         h)      Wijadah
B.      Kritik dan Saran

Akhirnya kami dapat merampungakan makalah yang sederhana ini, berkat semangat dan motivasi dari para dosen dan teman-teman yang selalu gigih memberikan masukan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini sedikit memberi manfaat kepada semua orang terutama bagi penulis. Namun kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dengan terbuka kami sangat mengharapkan dari pada kritik dan saran yang bersifat membangun, dari para pembaca dan teman-teman semua.



DAFTAR PUSTAKA

Bukhori. Shohih Bukhori. Bairut: Darul Jadid. T.t.

Ismail, Syuhudi. Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad. Jakarta: Bulan Bintang.
1995.
Misbah. Mutiara Ilmu Hadis. Kediri: Mitra Pesantren. 2013.

Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008.

Zen, Moh. Maksun. Ulumul Hadis. Jombang: Darul Hikmah. 2008.







[1] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia. 2008), 181.

[2] Bukhori, Shohih Bukhori (Bairut: Darul Jadid, T.t), 223.
[3] Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). 109.
[4] Misbah, Mutiara Ilmu Hadis (Kediri: Mitra Pesantren, 2013), 225.
[5] Drs. Moh. Maksun Zen, Ulumul Hadis (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 213-217.

Belum ada Komentar untuk "contoh makalah cara periwayatan dan periwayatan hadis oleh Anak-anak, orang kafir dan orang Fasik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel