Contoh makalah pendekatan dalam studi islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, al-Qur’an dan hadist tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalan memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologi normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, dan pendekatan filosofis, serta pendekatan-pendekatan lainnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana pendekatan teologi normatif dalam studi Islam?
2.Bagaimana pendekatan filologis dalam studi Islam?
3.Bagaimana pendekatan hukum islam dalam studi Islam?
4.Bagaimana pendekatan antropologis dalam studi Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dan yang lainnya dianggap salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang paling benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itupun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. 
Sebenarnya, pendekatan teologis tidak dapat memecahkan masalah essensial pluralitas agama saat ini, sebab doktrin teologis pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri. Atau, lepas dari jaringan institusi atau lembaga sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaanya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam komunitas masyarakat tertentu. Salah satu ciri pendekatan teologis Salah satu ciri pendekatan teologis dalam memahami agama adalah menggunakan cara berpikir deduktif. Yaitu, cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar.  
Melalui pendekatan teologis normatif ini, seseorang dapat memiliki sikap militan dalam beragama. Yakni, berpegang teguh pada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini, agama dilihat sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersifat ideal.
B.Pendekatan Filologi
Tampaknya penelitan agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa, karena manusia adalah makhluk berbahasa sedangkan dokrin agama dipahami, dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa.
Pembahasan berikut ini mengenai penertian bahasa yang dipersempit dan diartikan sebagai kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau memerintah. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa agama, karena di dalam bahasa agama banyak digunakan bahasa simbolik dan meteforik, maka kesalahpahaman untuk menangkap pesan dasarnya mudah terjadi. Sekalipun untuk menghindari kesalah pahaman, sebaiknya kita sepakati lebih dahulu apa pengertian bahasa agama serta apa saja cakupan masalahya. Istilah bahasa agama dalam penjelasan ini menujukkan pada tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran yang bersifat metafisi, terutama tentang Tuhan. Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Al-Qur’an, dan Ketiga, bahasa ritual keagamaan. 
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga pendekatan. Perlu ditekankan di sini bahwa ketiga pendekatan dimaksudkan tidak terpisah secara ekstrem, pendekatan-pendekatan bisa over lapping, salaing melengkapi, atau bahkan dalam sudut pandang tertentu sama. Ketiga pendekatan tersebut adalah metode tafsir, content analysis dan hermeneutika.
1.Metode Tafsir
Pendekatan filologi terhadap al-Qur’an adalah pendekatan atau metode tafsir. Metode tafsir merupakan metode tertua dalam pengkajian agama. Sesuai dengan namanya, tafsir berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian atas kitab suci, sehingga isi pesan kitab suci dapat dipahami sebagaimana dikendaki oleh Tuhan. 
Sementara itu Imam al-Zurqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman, makna maupun arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar kesanggupan manusia. Al-Zarkasi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil penjelasan makna, hukum hikmah yang terkandung di dalamnya.
Berkaitan dengan penelitan agama, tujuan tafsir adalah menjelaskan, menerangkan, menyingkap kendungan kitab suci pesan yang terkandung di dalamnya baik berupa hukum, moral, spiritual, perintah maupun larangan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan.
Ini berarti bahwa ayat yang sama apabila ditafsir dengan pendekatan berbeda akan menghasilkan isi pesan yang berbeda pula. Adapun metode penafsiran yang berkembangan dalam tradisi intelektual Islam dan cukup populer yaitu: tahlil, ijtimali, muqarin, dan maudlu’i.
Tafsir Tahlil adalah metode menafsirkan al-Qur’an dengan cara menguraikan secara detail kata demi kata, ayat demi ayat, dan surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an dari awal hingga akhir. 
Tafsir ‘Ijtimali adalah cara menafsirkan ayat-ayat dalam kitab suci dengan cara menunjukkan kandungan makna kitab suci secara global dan penjelasannyapun biasanya secara global pula.
Tafsir Muqarin adalah metode menafsirkan kitab suci dengan cara membandingkan ayak al-Qur’an dengan ayat lainya yang memiliki kemiripan redaksi, baik dalam kasus yang sama maupun beda. Metode Muqarin juga bisa berarti membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadist, hadist dengan hadist atau pendapat para ulam tafsir.
Tafsir Maudlu’i disebut juga dengan tafsir termatik adalah cara menafsirkan kitab suci dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya atau dengan cara mengangkat gagasan dasar al-Qur’an yang merespon tema-tema abadi yang menjadi keprihatinan manusia sepanjang sejarah. 
2.Pendekatan Filologi terhadap As-Sunnah (Al-Hadits)
As-Sunnah secara etimologis berarti tradisi atau perjalanan. Sedangkan al-Hadits secara etimologis berarti ucapan atau pernyataan dan sesuatu yang baru. Dalam arti teknis as-Sunnah (Sunnatur Rasul) identik dengan al-Hadits.
Selanjutnya dalam penulisan berikutnya memakai istilah al-Hadits. Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-Haditspun telah banyak diteliti oleh para ahli, behkan dapat dikatakan penelitian terhadap al-Hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya al-Qur’an dan Hadits berbeda. Kedatangan atau turunnya al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah SWT. Tidak ada satupun ayat al-Qur’an pun diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. Atas dasar ini maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan al-Hadits. Dari segi datangnya hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari selain Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi.
Memahami suatu hadits sebagai salah satu sumber terpenting ajaran Islam seteal al-Qur’an, niscaya memerlukan telaah kritis, utuh dan menyeluruh. Kajian termaksud difokuskan kepada matan hadits, sanad dan perawinya. Pemahaman terhadap matan hadits  antara lain bisa tersibak dari segi, apakah pertentangan atau tidak, antara matan hadits dengan al-Qur’an, fakta sejarah dan akal sehat. Ketiga sudut pandang tersebut, menentukan apakah suatu hadits dapat diterima sebagai sumber ajaran Islam atau tidak.
Kemudian mengenai persoalan sanad, apakah terdapat persambungan atau tidak, muali dari Rasil kemudian perawi pertama sampai yang terakhir. Dan yang tidak kalah pentingnya ialah persoalan jumlah dan kualitas perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas klarifikasi dan kualitas hadits itu, disiplin itu kemudian dikenal dengan ilmu riwayah dan diroyah. 
3.Pendekatan Filologi terhadap Teks, Naskah dan Kitab-kitab (Hermeneutika)
Hermeneutika secara etimologi berasal dari kata kerja hermeneuin : menyampaikan berita. Asumsi dari pemikiran hermeneutika ini, sebagaimana juga diyakini dalam pemikiran fenomenologi dan pendekatan interprestasi. Pada mulanya hermeneutika ini hanya dipahami sebagai metode untuk menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam karya sastra, kitab-kitab suci dan kitab-kitab lainya, tetapi kemudian penggunaan hermeneutika sebagai metode penafsiran semakin meluas dan berkembang, baik dalam cara analisisnya maupun objek kajiannya.
Hermeneutika merupakan metode bahkan aliran dalam penelitian kualitatif khususnya dalam memahami makna teks, naskah dan kitab-kitab, sebagai sebuah fenomena budaya sosial budaya. Fungsi metode hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara teks, naskah, dan kitab-kitab, penulis-penulisnya, serta para pembacanya. Karena itu untuk memperoleh pemaknaan yang lebih konfrehensif, terhadap tiga pusaran yang dijadikan starting point dan point of view yakni aspek kebahasaan, dunia sendiri-sendiri yang bisa saling mendukung atau sebaliknya membelokkan pemaknaan yang diberikan. Teks memiliki gaya bahasa, struktur kalimat, pilihan kata dan keterbatasan-keterbatasan yang tidak sekedar mengandung pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembaca tetapi juga mengandung perasaan dan budaya yang bisa jadi dipahami secara berbeda oleh pembaca yang satu dengan lainnya. Ungkapan bahasa adalah perasaan. Bahasa senantiasa berkaitan dengan hukum being, baik berupa ideologi, nilai meupun budaya masyarakat. 
C.Pendekatan Hukum Islam
Istilah “hukum islam” merupakan rangkaian kata yang populer dan dipergunakan dalam bahasa Indonesia. Dalam pembicaraan tentang hukum islam yang terdapat dalam literatur bahasa Arab adalah “fikih” dan “syari’at” atau “hukum syara’”. Para ahli hukum Islam mendefinisikan fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat operasional (amaliyah) yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan syari’at atau hukum syara’ adalah seperangkat aturan dasar tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan langsung oleh Allah dan Rosul-Nya. Lebih lanjut, para ahli Ushul Fikih menegaskan bahwa hukum syara’ adalah titah (khitab) Allah dan rasul-Nya yang mengatur tingkah laku manusia yang telah terbebani hukum (mukallaf).
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa penggunaan istilah “hukum islam” merupakan gabungan dari syari’at dan fikih yang dapat didefinisikan “seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rosul tentang tingkah laku manusia yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang terbebani hukum”.
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat aturan dasar dan umum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional, sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Titah Allah dalam al-Qur’an ada yang menunjukkan hukum secara jelas dan pasti, yang biasa disebut dengan qath’iy, sehingga tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Namun, ada titah Allah itu yang tidak menunjukkan hukum secara jelas, yang dikenal dengan sebutan hukum dhanniy, sehingga banyak membutuhkan penjelasan dan pengembangkan pikiran yang biasa disebut dengan ijtihad. Hakum yang dhanniy ini justru yang paling dominan dalam al-Qur’an dari qath’iy. Dengan demikian, al-Qur’an dan hadist sebagai aturan dasar yang bersifat umum ini, sebenarnya menunggu pemikiran-pemikiran kreatif dari pemeluknya, sehingga mudah direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
1.Aspek Ibadah
Kata Ibadah secara bahasa mempunyai arti merendahkan diri, tunduk, taat dan mengikiti. Sedangkan secara istilah berarti ketundukan, ketaatan, kecintaan dan perasaan takut yang sembpurna ke hadirat Allah SWT. Dengan demikian segala perilaku manusia yang didorong oleh rasa tunduk, taat dan rendah diri kepada Allah disebut dengan ibadah.
Secara garis besar ibadah terbagi menjadi dua. Pertama, Ibadah Khusus (khassah) atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang ketentuan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh teks al-Qur’an dan Hadits. Kedua, Ibadah Umum (‘ammah) atau ghairu mahdhah, yaitu semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Dalam sub bab ini, akan dibicarakan ibadah dalam pengertian khusus (khassah). Bentuk ibadah yang disebut langsung oleh al-Qur’an dan hadits adalah Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. 
a.Shalat 
Shalat secara bahasa berarti doa dan memohon pengampunan (istighfar). Sedangkan menurut istilah ahli fikih shalat didefinisikan “seperangkat ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”.
Shalat merupakan media komunikasi antara seorang makhluk dengan penciptaannya dan membangun kesadaran bahwa Allah SWT sebagai yang Maha Besar, sehingga menambahkan pengakuan akan kebesaran-Nya. Dengan shalat ini akan tercipta hubungan yang sangat dekat antara pelaku dengan Allah SWT. Shalat yang dilakukan dengan hati yang penuh khusyu’ dan ridla akan mempunyai pengaruh yang mendalam dalam jiwa menusia sekaligus memotivasi untuk berakhlak mulia. 
b.Puasa 
Kata puasa merupakan terjemahan dari bahasa Arab “al-shaum” atau “al-shiyam” yang mempunyai arti menahan diri dan meninggalkan sesuatu. Dalam istilah fikih puasa adalah “menahan perbuatan tertentu dalam waktu yang ditentukan”. Kewajiban puasa ini didasarkan pada firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Puasa yang diwajibkan oleh Allah SWT dilakukan pada waktu yang tertentu yaitu pada bulan Ramadhan mulai terbit fajar (shubuh) hingga terbenamnya matahari.
Melaksanakan ibadah puasa banyak mengandung hikmah, sekurang-kurangnya ada empat hikmah yang dapat diperoleh bagi pelaku puasa yang melakukannya dengan penuh keikhlasan. Pertama, puasa merupakan sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT, membiasakan diri untuk patuh terhadap perintah-perintah Nya, dan menghambakan diri kepadaNya. Kedua, merupakan pendidikan bagi jiwa dan membiasakannya untuk menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT. Puasa menjadikan orang dapat menahan diri atau tidak menuruti segala keinginan dan hawa nafsunya. Ia senantiasa berjalan diatas petunjuk hukum Islam. Ketiga, merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang lain, sehingga terdorong untuk membantu dan menyantuni orang-orang yang kurang mampu. Keempat, dapat menanamkan dalam diri manusia rasa takwa kepada Allah SWT dengan senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah baik dalam keadaan terbuka maupun tertutup dan meninggalkan segala yang dilarang. 
c.Zakat
Secara bahasa zakat berasal dari bahasa Arab “zaka” yang berarti tumbuh, berkembang, bertambah. Dikatakan demikian, karena harta yang dikeluarkan untuk jalan Allah SWT akan ditambahkan berkahnya dan juga berarti suci dari hak Allah dan hak manusia lainnya. Dalam al-Qur’an kata tersebut mengandung arti suci. Sedangkan menurut istilah hukum Islam zakat adalah sebutan harta tertentu yang wajib dikeluarkan seorang muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Mengeluarkan zakat ini hukumnya wajib nerdasarkan ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi.
Dilihat dari sasarannya, zakat diabgi menjadi dua, yaitu: zakat fitrah, yaitu zakat diri yang wajib dikeluarkan oleh setiap individu, baik kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka maupun budak sahaya pada bulan Ramadhan. Zakat mal, sebagaimana disebut al-Qur’an “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. 
d.Haji
Secara bahasa haji memiliki persamaan kata qashdu yang berarti tujuan. Sedangkan dalam islitah hukum Islam haji berarti menuju baitullah (Ka’bah) untuk melakukan berbagai kegiatn. Dalma ajaran islam, beribadah haji dijadikan rukun Islam kelima yang wajib dilakukan seumur hidup sekali bagi yanh telah memenuhi syarat. 
Dalam sejarah pra-Islam, haji telah dikenal sejak Ka’bah dibangun Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail. Namun, dalam prakteknya Ka’bah yang suci ini telah dinodai oleh kaum jahiliyah yang menjadikan sebagai pusat berhala. Islam datang, untuk memberantas praktek-praktek jahiliyah yang menjadikan berhala sebagai tempat beribadah menjadi tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an. 
2.Aspek Muamalat
Dalam tinjauan bahasa “mu’amalat” berasal dari kata “amalia” yang berarti perbuatan atau melakukan suatu pekerjaan. Namun, dalam pembahasan ini kata tersebut digunakan untuk menjelaskan suatu pekerjaan antara dua arang atau lebih yang telah melakukan kesepakatan atau ikatan tertentu. Sedangkan dalam istilah fikih, mu’amalat dimaksudkan sebagia suatu ikatan yang dilakukan manusia untuk saling mendapatkan keuntungan, baik fisik maupun jasa.
Al-Qur’an tidak memberikan rincian tentang tehnis melakukan hubungan perbuatan manusia dengan manusai lainnya (mu’amalat) ini, namun al-Qur’an menawarkan prinsip-prinsip dasar yang harus dipegangi seseorang dalam bermuamalat. 
a.Memenuhi Ikatan dan Transaksi yang Telah Disepakati
Dalam melakukan aktifitas bisnis, seseorang melakukannya dengan penuh kejujuran dan saling menghormati hak orang lain. Makna ini terkandung dalam firman Allah.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
b.Larangan Meraih Keuntungan dengan Cara Bathil
Al-Qur’an memberikan indikasi kecenderungan pelaku bisnis memperoleh keuntungan sepihak untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain.
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
c.Mengharamkan Riba
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka beginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
3.Aspek Jinayat
Kata jinayat merupakan kata dasar dari jinaya yang berarti kejahatan, kesalahan dan dosa. Dalam pembicaraan ini jinayat diartikan sebagai kejahatan seseorang yang mengakibatkan kerugian dan atau penderitaan orang lain. Islam tidak membenarkan kejahatan di muka bumi. Sehingga pelaku kejahatan harus diberikan hukuman setimpal sengan kejahatan yang dilakukan.
a.Hukuman Qishash
Jenis hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan sesuai dengan jenis kejahatan. Jika ia telah memotong tangan orang lain, maka ia dihukum dengan potong tangan. Jika ia telah mematahkan kaki orang lain, maka ia dihukum dengan dipatahkan kakinya, dan seterusnya.
b.Hukuman Zina
Dilihat dari sudut pelakunya, zina terbagi menjadi tiga, yaitu: Zina Mukhshan, Zina Ghairu Mukhshan, Zina Budak Sahaya.
Zina Mukhshan adalah pelaku zina yang sebelumnya pernah melakukan seksual secara halal. Pelaku zina mukhshan baik laki-laki maupun perempuan didera (dirajam) seratus kali.
Zina Ghairu Mukhshan adalah pelaku zina yang belum pernah melakukan hubungan seksual secara halal. Pelaku zina ghairu mukhshan akan dicambuk sratus kali dan diisotir (diasingkan) dari masyarakat selama satu tahun.
Zina Budak Sahaya, yaitu budak sahaya yang melakukan zina, dan hukumannya separuh dari pelaku zina yang merdeka. 
c.Hukuman Tuduhan
Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
d.Hukuman Pencurian
Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah Maha perkara lagi Maha Bijaksana.
Sebagian besar ahli fikih berpendapat bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri tersebut apabila harta yang dicuri bernilai satu nisab atau lebih.
e.Hukuman bagi gerakan Pengacau dan Teroris
Perlindungan hak hidup individu dan situasi keamanan dan ketertiban dalam komunitas Islam mendapat perhatian serius dalam islam, sehingga al-Qur’an secara eksplisit menunjuk jenis hukuman bagi seseorang yang melakukan gerakan pengacau di muka bumi ini sesuai dengan bobot kejahatannya, yaitu: dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dibuang.
f.Hukuman bagi Peminum Khamr dan Narkoba
Islam sangat peduli dengan ketenangan dalam kehidupan sosial, dan memberikan ancaman hukuman bagi pelaku patologi sosial. Kepedulian Islam ini dimaksudkan untuk menciptakan kodisi sosial yang harmonis, sehat dan aman. Pelaku minum-minuman keras dan sejenisnya yang membahayakan kehidupan manusia dikikis habis oleh Islam.
4.Aspek Perkawinan
Perkawinan bukan berarti kepemilikan dan kekuasaan. Seseorang laki-laki kawin dengan seorang permpuan, bukan berarti bahwa perempuan itu milik yang laki-laki, atau sebaliknya. Akan tetapi, dalam perkawinan hanyalah sebuah ikatan janji untuk hidup bersama-sama karena dianggap telah memiliki kesesuaian dan kesamaan. 
Dalam sejarah pra Islam, perkawinan dibangun atas dasar penguasaan, sehingga seorang laki-laki bisa saja memiliki sepuluh wanita, bahkan tak terbatas. Dan begitu sebaliknya. Islam mengambil jalan tengah, memperoleh seorang laki-laki kawin hingga empat wanita selama ridak dikhawatirkan timbul efek negatif diantara wanita-wanita yang dikawin.
5.Aspek Politik
Dalam wacana fikih, politik diambil dari makna kata “siyasah”. Secara bahasa, kata tersebut mempunyai arti mengatur, menguasai atau kekuasaan. Dengan demikian “fiqh al-siyasi” mengandung arti fikih yang membicarakan tetang cara mengatur kehidupan bernegara, bermasyarakat dalam kekuasaan sebuah negara. Dalam bahasa Arab, kata tersebut identik dengan “mulk” (kekuasaan yang dimiliki), “khalifah” (generasi kepemimpinan), “imamah” (pemimpin), “imarah” (pemerintah).
Islam tidak memberikan petunjuk yang jelas tentang tehnis berpolitik, namun al-Qur’an maupun hadits menunjukkan prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup berpolitik.
a)Bahwa kekuasaan merupakan kepercayaan dari Allah dan masyarakatnya.
b)Prinsip berkeadilan dalam menentukan hak dan kewajiban.
c)Berpedoaman para kebenaran al-Qur’an dan sunnah Nabi.
d)Bermusyawarah dan melibatkan partisipasi masyarakat yang dipimpinnya. 
D.Pendekatan Antropologi
Pendekatan antropologi tidak dapat dipisahkan dari disiplin ilmu Antropologi karena pendekatan banyak mengadopsi dari disiplin ilmu tersebut. Antropologi sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata anthropos yang berarti “manusia” atau “orang”, dan logos yang berarti “wacana” (dalam pengertian “bernalar”, “berakal”) antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Sedangkan definisi antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dan budayanya. Tujuannya adalah untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik dimasa lampau maupun  sekarang, baik sebagai organisme biologis manupun sebagai makhluk berbudaya. 
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam ilmuan tropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan tatanan soaial kemasyarakatan. Adapun golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran menguntungkan pihaknya. Karl Max (1818-1883) sebagai contoh melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalis di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920).  Dia melihat adanya korelasi positif  antara ajaran Protestan dan munculnya semangat kapitalisme modern. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama tokogawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Buddha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Seorang Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodinson dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam yang lebih dekat dengan kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak megharapkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme. 
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya,  melalui pendekatan antropologi disini, kita dapat melihat agama adalah hubungannya dengan mekanisasi pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis, kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan Negara (state and religion). Topik ini juga tidak pernah kering dikupas oleh para peneliti. Selalu menarik melihat fenomena agama seperti meneliti dan membandingkan kerajaaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran yang berlandaskan Islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda, yaitu kerajaan dan republic, tetapi sama-sama menyatakan Islam sebagai asas tunggalnya.
Pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan infomasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya. 



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 
Pendekatan Metodologi Studi Islam adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini adalah agama Islam. Islam dapat dilihat dalam beberapa aspek yang sesuai dengan cara pandangnya. 
Adapaun pendekatan studi Islam, antara lain:
1. Pendekatan teologis normatif 
Pendekatan teologis normatif  adalah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang menimbulkan keyakinan bahwa pahamnyalah yang paling benar.
2. Pendekatan filologi 
Adalah pendekatan yang bahasa agama, karena di dalam bahasa agama banyak digunakan bahasa simbolik dan meteforik, maka kesalahpahaman untuk menangkap pesan dasarnya mudah terjadi. Sekalipun untuk menghindari kesalah pahaman, sebaiknya kita sepakati lebih dahulu apa pengertian bahasa agama serta apa saja cakupan masalahya. Istilah bahasa agama dalam penjelasan ini menujukkan pada tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran yang bersifat metafisi, terutama tentang Tuhan. Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Al-Qur’an, dan Ketiga, bahasa ritual keagamaan.
3. Pendekatan Hukum Islam
Dalam hukum Islam, selain syari’at, dikenal pula istilah fiqh, Syari’ah merupakan aturan Allah yang bersifat absolut, kekal-abadi, suci dan syakral sehingga tidak bisa dan tidak boleh diubah kecuali oleh Allah sendiri. Sedangkan fiqh termasuk dalam kategori sebuah ilmu, dan sebagai sebuah ilmu maka peran worldview ahli hukum sangat berpengaruh didalamnya karenanya produk fiqh bersifat relatif dan profan yang rumus-rumusnya sangat dipengaruhi oleh kondisi, tempat dan waktu.Sehingga produk fiqh tidak bisa disetarakan dengan syari’at sekalipun berupa konsensus (ijma’) melalui metodologi al-qiyas.


4. Pendekatan antropologis 
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dam berkembang dalam masyarakat.
B.Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Banyak kekurangan di dalamnya, untuk itu kami mohon kepada pembaca sekalian untuk memberikan masukan kritik dan saran guna untuk memperbaiki makalah dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta,  2004.
Taufik Akhmad, dkk, Metodologi Studi Islam, Banyumedia Publishing, Malang, 2004.
Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, IAIN Sunan Ampel Press, Surabaya, 2002.
Sahrodi Jamali, Metodologi Studi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Anwar Rosihon, dkk, Pengantar Studi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Miftah Asep, www.academia.edu/6634711/makalah-pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam-_2&vis=academia diakses pada 24 November 2014. 

Belum ada Komentar untuk "Contoh makalah pendekatan dalam studi islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel