Contoh Makalah Kodifikasi Hadis

BAB I
KODIFIKASI HADIS

A.    Pendahuluan
Hadis nabi merupakan sumber ajaran agama islam yang kedua setelah al qur’an. Hadis adalah ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li) serta sikap dan kesan (taqrir) Nabi MuhammadSAW terhadap sesuatu. Hadis dalam risalah islam merupakan teladan yang wajib diikuti. Sebagian besar hadis diriwayatkan secara lisan oleh sahabat kepada generasi penerus mereka para tabi’in.
Hadis dilestarikan dengan cara dihafal dan diamalkan dalam praktik ibadah. Penghafal Al-Qur’an maupun hadis bermunculan dikalangan umat islam dari generasi pertama pada masa sahabat hingga saat ini. Hadis mempunyai otoritas tersendiri yang wajib ditaati oleh umat islam.sendiri
Hadis sebagai gambaran kehidupan rasulullahSAW dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami cobaan dan rintangan. Hadis Nabi diyakini oleh mayoritas umat islam sebagai teladan yang baik dalam kehidupan bermayarakat.
    Tradisi menghafal merupakan bagian dari pengembangan keilmuan islam sejak awal. Al-Qur’an menjadi barometer atas kebenaran hadis. Fungsi hadis terhadap al-Qur’an bukan menghapus (mansukh) melainkan sebatas membuat perintah umum al-Qur’an menjadi lebih khusus.
1.Perumusan Masalah

a. Apa pengertian kodifikasi hadis ?
b.Jelaskan Kontraversi seputar penulisan hadis ?
c. Jelaskan  setting historis kodifikasi ?
d.Jelaskan proses periodeisasi dalam kodifikasi hadis?
e. Bagaimana orientalis menanggapi kodifikasi hadis?
f. Sebutkan produk-produk kodifikasi hadis!




B.     Pengertian kodifikasi dan tadwin
Kata tadwin merupakan bentuk masdar dari kata kerja dawwana, “menulis” atau “mendaftar” secara literal kata tadwin mengandung arti “penghimpunan”, seperti disebutkan dalam kamus taj al-Arus: dawwanahu tadwinan jama’ahu.[1] Al-Zahraniy , dengan mengutip kamus Arab mengartikan kata tadwin dengan “kumpulan shuhuf”, sehingga dalam makna ini tadwin identik dengan diwan.Selain itu, kata tadwin dapat berarti ”mengikat sesuatu yang terpisah-pisah atau tercerai berai dan menghimpunnya dalam sebuah diwan atau kitab yang memuat didalamnya lembaran-lembaran”.secara istilah adalah mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.
Secara terminologis, sejumlah sarjana telah mendefinisikan tadwin hadis secara beragam. Muhammad Darwisy, misalnya, mengartikan tadwin hadis dengan “Penulisan (kitabah) hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw. Dan penghimpunannya (jam’) dalam satu atau beberapa sahifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang tertib dan teratur, serta menjadi rujukan umat islam setiap kali menjadikannya sebagai dalil.” Manna’ al-Qaththan mendefinisikan tadwin hadis dengan “usaha pengumpulan hadis yang sudah dituliskan dalam shuhuf atau yang masih terpelihara daalam bentuk hafalan, dan kemudian menyusunnya menjadi sebuah kitab.” Sedangkan al-Zahraniy mengajukan pengertian tadwin (hadis) dengan “tashnif dan ta’lif.”[2]
Kata tadwin  telah umum digunakan dalam sejumlah literatur studi hadis, baik yang ditulis oleh ulama’ sunni ataupun syiah, untuk menunjuk proses kompilasi dan kodifikasi hadis. Kodifikasi adalah mengumpulkan, menghimpun, atau membukukan hadis. Secara terminologi kodifikasi hadis adalah suatu proses dimana dilakukannyan upaya penghimpunan, pembukuan, pengklasifikasian dan pencatatan dan pemberian tanda terhadap suatu objek tertentu.
Selama proses historis kompilasi dan kodifikasi hadis, para ulama Sunni ataupun syi’ah juga berupaya merumuskaan perangkat metodologisnya. Semula perangkat metodologisnya itu masih dalam bentuk sederhana. Dan kemudian mengalami perkembangan hingga mencapai wujud yang lebih matang dan rumit. Ketika telah mencapai kematangan metodologis terutama pada abad III H atau  setelah proses tadwin hadis melewati tiga langkah antara lain mulai langkah pengumpulan sumber hadis.


C.     Kontrroversi seputar larangan dan perintah menulis hadis.
1.Larangan menulis hadis
Pada masa rasulullah masih hidup, perhatian para sahabat masih terfokus pada al-qur’an. Hadis diabaikan karena ketika mereka membutuhkan penjelasan bisa langsung bertanya pada Nabi.
 Para sahabat menyampaikaan sesuatu, yang ditanggapi pancaindranya, dari Nabi Muhammad saw secara lisan. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Nabi saw :
Hadis riwayat muslim dari Abu said al- Khudriy RA. Ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku dan barangsiapa trelah menulis dariku selain Al-Qur’an maka hapuslah, dan ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”[3] (Riwayat muslim)
Hadis tersebut diatas disamping menganjurkan agar meriwayatkan hadis dengan lisan, juga memberikan ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu.
Abu said al- khudriy meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda :

لاتكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه
Janganlah kalian tulis (riwayat) dariku. Siapa yang menulis riwayat dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya. [4]
Larangan penulisan hadis tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagai sahabat penulis wahyu memasukkan hadis kedalam lembar-lembaar al-Qur’an, karena menganggap segala yang dikatakan Rasulullah Saw adalah wahyu semuanya.
2.Bolehnya menulis hadis.
‘     Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, menyatakan bahwa ia menulis segala yang didengar dari Nabi dan menghafalkannya, tetapi kaum Quraisy menegurnya dengan alasan “Engkau menulis segala apa yang Engkau dengar dari Nabi padahal Nabi manusia biasa yang berbicara pada saat marah dan lega”, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘As lalu melapor kepada Nabi. Nabi pun menunjuk mulutnya, seraya menyatakan :
اكتبوا فو الذى نفسه بيده ماخرج منه الا الحق
Artinya: 
”Tulislah. Demi Zat yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang haq (benar).”[5]

D.    Setting Historis
1)Tradisi tulis menulis
a. Tradisi tulis menulis pada jaman Jahiliyah.
Pada masa jahiliyah bangsa arab sudah mengetahui peranan tulis menulis. Mereka menganggap bahwa tulis menulis adalah salah satu unsur kesempurnaan seseorang.Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang dan melempar panah”.[6].
Tradisi tulis menulis memang sudah ada di Negara Arab sebelum kedatangan islam.  Mereka mencatat peristiwa penting diatas bebatuan. Adanya bukti terhadap benda purbakala yang dilakukan oleh peneliti sebagian besar benda tersebut  mengandung tulisan Arab di kawasan selatan semenajung Arabia.
Selain itu juga tradisi tulis menulis di kalangan masyarakat Arabia berdasarkan bukti-bukti yang bisa dipercaya. Beberapa peribahasa, parabel, kata-kata mutiara dan peristiwa-peristiwa besar dari masa pra islam telah dicatat menggunakan tinta putih atau hitam dalam suatu bahan yang dikenal dengan nama shahifah, majallah, dan rausam.[7] Jejak tertulis ini bahkan masih dijumpai pada masa hidup Nabi saw.
Di kalangan masyarakat Arab pra islam menjumpai sejumlah bukti bahwa para kabilah seringkali menuliskan syair-syaair yang berasal dari para tokoh mereka. Mereka juga mencatat cerita-cerita perang, kehidupan sehari-hari, perjanjian-perjanjian dan persetujuan-persetujuan antar suku, silsilah dan keturunan, dokumen-dokumen, dan sumpah-sumpah, begitupun dari tangan mereka diperoleh bukti-bukti tertulis berupa surat pinjaman, surat pribadi. Bukti tertulis lainnya yang juga telah dikenal dikalangan masyarakat Arab pra Islam  adalah berupa teks sakral keagamaan yang memuat dalam taurat, injil, kitab daniel, dan kitab-kitab keagamaan lainnya dari kaum Hanafiyyah maupun sabean.[8]
Ibnu habib al Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan dan para cendekiawan yang melakukan hal itu pada masa jahiliyah dan permulaan islam. [9]jadi pada masa jahiliyah bangsa arab sudah mengetahui peranan tulis menulis. Hanya saja mereka tidak dapat menggunakannya sebagaimana semestinya karna memang belum memerlukan hal itu namun banyak sumber menyebutkan bahwa masa sebelum datangnya agama islam di jazirah arab sudah terdapat kegiatan pendidikan.
Addi Ibn Zaid al Idabiy (-35 SH) merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arab di kabinet Kisra. Ketika beranjak dewasa ia dikirim ayahnya ke sekolah kemudian ia bisa masuk kedalam kabinet tesebut.
Hal tersebut menunjukkan telah adanya sekolah pada masa sebelum islam. sekolah tempat anak-anakbelajar tulis menulis syair dan sejarah Arab. Adapun tempat-tempat yang dipakai untuk mengajar diantaranya adalah makah, Toif, Madinah, Anbar, Hirah, Dummat al jandal [10] Telah diadakan majlis pendidikan.Dikabila bani Huzail terdapat majlis dimana anak-anak lelaki dan perempuan belajar membaca dan menulis.
Moyoritas penyair membanggakan hafalan dan kekuatan ingatan mereka, bahkan diantara mereka ada yang menyembunyikannya dikarenakan mereka khawatir bila keberadaannya diketahui.
Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar kepada umatnya.Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi.Sabda, prilaku, dan sikap menjadi otoritas tersendiri yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.[11]
Al-Qur’an telah memerintah belajar dan Nabi SAW sendiri sendiri juga menganjurkan hal itu.Karakter risalah membawa konsekuensi maraaknya para pelajar pembaca dan penulis. Karena wahyu memerlukan ahli tulis Surat-surat , perjanjian-perjanjian dan keputusan yang menyangkut kenegaraan juga memerlukan ahli tulis menulis.
b.Tradisi tulis menulis pada masa Nabi Muhammad SAW
Setelah islam datang banyak ahli menulis untuk memenuhi kebutuhan Negara yang baru. Rasulullah SAW memiliki penuis wahyu yang jumlahnya 40 orang. Beliau juga memiliki ahli sedekah ahli tulis hutang piutang dan ahli tulis untuk surat-surat dengan bahasa asing,
Jumlah tulis menulis bertambah banyak setelah hijrah, tatkala pemerintahan islam telah stabil. Sembilan masjid yang ada di madinah  menjadi pusat kegiatan kaum muslimin. Mereka mempelajari Al-Qur’an al –Karim, Ajaran islam, membaca dan menulis.
Kekuatan hafalan dan pena-pena juga saling menopang dalam pengabdian terhadap hadis Nabi SAW. Beberapa atsar yang bisa mengklasifikasikan hakikat kodifikasi hadis. Larangan penulisan hadis terjadi pada awal islam karena khawatir terjadi percampuran antara Al-Qur’an hadis.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Pada masa Nabi Saw, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang.
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa nabi bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis :
1.Abdullah ibn Amr Ibn Ash, shahifah-nya disebut ash-shadiqah.
2.Ali bin Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hokum keluarga.
3.Anas ibn Malik.
Ketika Nabi menyelenganggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat seruan pemberitahuan kepada pejabat di daerah dan surat seruan dakwah Islamiyah kepada para Raja dan Kabilah. Surat tersebut merupakan koleksi hadis. Hal ini membuktikan bahwa pada masa Nabi Saw telah dilakukan penulisan hadis dikalangan Sahabat.

c. Tradisi tulis menulis pada masa Khulafaur Rasyidin
Nabi Saw wafat pada tahun 11 H. kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu al-Qur’an dan Hadis As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis yaitu
1.Denga  lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka teria dari Nabi Saw. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.Dengan maknyanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi Saw.
Pada masa ini, Kahalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadis, namu maksud tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat isthikharah.  


2)Faktor – faktor pendorong kodifikasi hadis
Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadis:
1.  Beliau khawatir hilangnya hadis- hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya.
2.Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadis palsu[12].
3.Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.
Dengandemikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadis adalah untuk menyelamatkan hadis-hadis nabi dari kepunahan dan pemalsuan.
3)Proteksi penguasa terhadap kodifikasi hadis
a. Ibn Syihab Az Zuhri
Muhammad ibn Muslim ibn Ubayd Allah ibn Abd Allah ibn Syihab ibn  Abd Allah ibn al-Harits ibn Zahra ibn Kilab ibn Murrah al Quraisy  al-zuhri. Lahir 50 H dan meninggal pada Ramadhan 125 H.
Az-zuhri adalah seorang imam dan ulama hijaz dan syam. Ia menerima riwayat dari Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab, Abdullah ibn Ja’far, Rubaiah ibn Ubad, al- Munawar ibn Makramah, Abd al-Rahman Ibn Azhar. Sedangkan yang menerima hadisal-Zuhri iala Atha ibn Abi Rabbah, Abu al-Zubair al-Makki, Umar ibn Abdul Aziz, Amar Ibn Dinar, Shalih ibn Kisan, Aban Ibn Shalih, al-Auza’I, Ibn Juraij.
Al bukhari, yang bersumber dari Ali ibn al MAdini menyatakan bahwa al-Zuhri memiliki hadis mencapai 2000 hadis. Al-Ajari yang bersumber dari Abu Dawud, menyatakan bahwa Hadis dalam Dokumen al-Zuhri seluruhnya mencapai 2.250 buah., diantaranya hadis musnad., dan di antara 200 buah diterima dari orang yang tidak tsiqat dan yang diperselisihkan tidak sampai 50 buah hadis.[13]  
Dalam sejarahnya, sebagaimana Abu Bakar ibn Hazm, al-Zuhri mendapat kepercayaan dari khalifah untuk mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi. Hasil karyanya oleh para ulama dinilai lebih lengkap disbanding karya Abu Bakar Ibn Hazm. Hasil karya keduanya Hilang jadi tidak sampai pada kita.


E.     Periodeisasi kodifikasi hadis
1.Kodifikasi hadis pada masa sahabat
Dalam konteks periwayatan hadist, sahabat Nabi merupakan generasi petama yang menerima langsung sabda-sabda dari Nabi. Namun dari aktivitasnya , para sahabat berbeda-beda cara dalammenerima sabda tersebut, bahkan tiap seorang dari kategori : Aqwali, Af’ali maupun Taqriri. Sebab Rasulullah tidak selamanya berbicara,beramal. Atau membuat persetujuan atas suatu tindakan sahabat, di hadapan mereka dalam jumlah banyak, terutama ucapan atau perbuatan yang dilakukan di rumahnya sendiri, idak banyak yang mengetahui selain istri-istri, para pembantu , dan orang-orang yang sering bergaul dengannya. Karena terjadinya (asbab- al wurud) hadist tidak selalu terjadi di hadapan sahabat dalam jumlah yang banyak.
Aktivitas  sahabat dalam periwayatan hadist. Lebih jelas lagi terlihat dari kesungguhan mereka  dalam menyertai kehidupan Rasul, sehingga dalam keadaan apapun Rasulselalu di dampingi oleh para sabat meskipun tidak semua sahabat selalu mendampingi setiap hari.
Data- data sejarah menunjukkan kesungguhan sahabat dalam melihat kegiatan Rasul, antara lain suatu ketika Rasul memasuki Ka’bah bersama dengan beberapa orang sahabat, kemudian pintunya di kunci dari dalam, maka para sahabat yang laen yang tak sempat mengikuti Rasul terpaksa menunggu diluar sambil bertanya-tanya apa gerangan yang di kerjakan Rasulullah di dalam Ka’bah. Ketika Rasulullah keluar,Abdullah lbn Umar bertanya kepada bilal yang mendapat kehormatan menmani Rasul memasuki Ka’bah itu , Abdullah berkata kemudian shalata :
Apa yang dikerjakan Rasulullah di dalam? Bilal menjawab: Nabi memperbaiki posisi tiang Ka’bah dan kemudian shalat.
Dalam hal-hal yang kecil sifatnya dari kegatan Rasulullah, tampaknya para sahabat tidak rela melepaskan perhatiannya. Seperti, ketika Rasulullah buang air besar di tempat tertutup, menjahit sandalnya yang robek , membelahi kayu bakar untuk rumah tangganya dan lain sebagainya, ternyata tidak lepas dari penglihatan para sahabatnya.

2.Kodifikasi hadis pada masa Tabi’in
Generasi tabi’in memperoleh pengetahuan dari generasi sahabat. Sebagaimana halnya kalangan sahabat, para tabiin sebagian dikabarkan tidak menyetujui penulisan hadis. Diantaranya mereka adalah Ubaidah ibn Amr al-Samaniy, Ibrahim ibn Yazid al-Taimiy, Jabir ibn Zaid, namun disisi lain mereka dilaporkan membolehkan penulisan hadis diantaranya adalah Said ibn Jubair , Said ibn al-musayyab, Umar ibn Abd Aziz, Amir al-Sya’biy.
Sikap yang ditunjukkan oleh tabiin dalam hal penulisan hadis tidak permanen, tetapi hanya situsional. Mereka umumnya melarang penulisan hadis ketika sebab dari pelarangan itu masih ada, begitupun sebaliknya. Hasil penelitian Azami, seluruh tabi’in yang dikabarkan tidak menyetujui tulisan hadis ternyata memiliki catatan hadis.

3.Kodifikasi hadis pada masa Tabi’it-Tabi’in
Seorang ulama hadis yang berhasil menyusun kitab tadwinyang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (w.93-179 H) di Madinah., dengan kitabnya yang berjudul al-uwatha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 Hdan para ulamamenilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.
Pentadwinan berikutnya dilakukakn oleh Muhammad ibn Ishaq (w.151 H) di Madinah, Ibn Juraij (80-150H) di Mekkah, Ibnu Abi Zibin Hammad bin Salamah  (w.176 H) di Basrah.[14]


F.Pendapat orientalis
Kedudukan Nabi sebagai public pigure, terbuka asumsi untuk disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.Loyalitas berkadar semu bisa mewarnai sikap sebagian sahabat beliau. Demikian pula setiap informasi mengenai tahapan pembinaan syari’ah versi hadis (sunnah). Kebijakan kepemimpinan dan pilihan sikap pribadi dalam menjalani kehidupan tak luput dari reaksi umat buat mengkritisinya.[15]
Gerak dinamika social ajaran sesuai kondisi umat generasi awal islam selepas wafat Nabi SAW yang secara berantai membentuk sunnah bermuara pada optimalisasi pelestarian segala keteladanan yang di misbahkan rosulullah saw. Pengalaman keagamaan mengikuti bimbingan rosulullah secara langsung atau lewat perantara perawi primer, terjadi segi kuantitas dan kualitas.
Kesenjangan kuantitas transfer pemberitaan hadis nabawi dapat di ikuti antara lain : Abu Hurairah (W.58 H) meriwayatkan 5374 unit hadis, ibnu umar ibnu al khatab (W.74 H) meriwayatkan 2630 unit hadis, umm al mu’minin, aisyah (W.58 H) meriwayatkan 2210 unit hadis, zabir ibnu abdillah (W.79 H) meriwayatkan 1540 unit hadis, abu saib al khudri (W.74 H) meriwayatkan 1170 unit hadis[16]
Karena menyimpan dendam ''perang salib'' yang tak kunjung surut, para Orientalis yang memiliki karya dalam Islam bisa dipastikan telah melakukan kecurangan ilmiah, layaknya pemalsuan dan ketidakjujuran.Semisal Goldzieher, tokoh Orientalis Yahudi, yang hampir seluruh karya-karyanya diwarnai dengan paham anti Islam.Dan  juga Karel Brockelman seorang Orientalis terkemuka asal Jerman yang terpengaruh oleh sikap subjektif dan tidak jujur terhadap Hadis dalam karyanya, Tarîkh asy-Syu'ûbil- Islamiyah. Dia dengan sengaja memberi kesan negatif tentang Islam, khususnya Hadis Nabi dalam masalah  badui. Dalam komentarnya dia memenggal teks Hadis dan tidak menampilkannya secara utuh. Kekeliruan semacam ini sangat irasional apabila muncul dari  seorang ilmuwan sekaliber Brockelman yang sudah lama berkecimpung dengan kitab-kitab klasik, sehingga telah menghasilkan sebuah karya yang berharga 'Tarikhul Adabil 'Arabi' (sejarah kesusastraan Arab).
Kekeliruan seperti di atas (kecurangan ilmiah dan ketidakjujuran dalam Hadis) juga terjadi pada Jacque Berque,Orientalis asal Perancis, yang melakukan ketidakjujuran dengan membolak-balikkan sejumlah arti kata-kata dan pemahaman dalam menerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Perancis. Padahal selama ini ia dipandang sebagai orang yang objektif terhadap Islam. Akan tetapi, Dr. Zainab Abd Aziz, Profesor kebudayaan Perancis dari Universitas Monofia Mesir, dalam bukunya 'Terjemah Makna al-Qur'an' telah menyingkap ketidakjujuran Jacque Berque.
Barangkali itulah yang membuat Dr. Ahmad Ghurab kurang percaya pada sebutan ''Orientalis yang jujur''. Sehingga ia menyusun buku Ru'yah Islamiyah Lil Istisyraq. Dalam buku ini, Dr. Ahmad Ghurab menyingkap tabir Orientalis, yang katanya ''jujur'' ternyata melakukan kecurangan ilmiah dan pemalsuan.
Goldzieher yang tidak mempunyai latar belakang yang kuat dalam mendalami ilmu Hadis, sudah barang tentu kebingungan dalam menghadapi kedua riwayat yang kontra di atas, sebab untuk menimbang dan mensejajarkan dua jenis riwayat tersebut agar mengeluarkan konklusi yang cemerlang memerlukan keahlian dalam ilmu-ilmu hadis
Untuk menggoyahkan kepercayaan pada Sunnah Nabi dan kewahyuannya, Orientalis melontarkan berbagai asumsi. Asumsi tersebut hanya berdasarkan isu negatif semata yang kemudian dikemas dengan analisa dan gaya yang agak ilmiah. Di antara isu-isu tersebut adalah asumsi mereka bahwa Hadis Nabi tidak tercatat pada masa Nabi Muhammad dan sesudahnya sampai masa penyusunan Hadis pada abad ke tiga Hijriah.Sehingga menurut Gledzieher terdapat rentang waktu lebih dari dua abad terputusnya Nabi dengan Hadis-hadisnya.Dampaknya—menurut logika Orientalis—mengakibatkan banyak Hadis-hadis palsu yang disebarkan, sehingga sangat sulit untuk membedakan yang Shahih dan yang palsu.
Sayangnya, asumsi tersebut salah fatal, lemah dan tidak dapat bisa dipertanggungjawabkan. Karena jika diteliti secara ilmiah serta berlandasan pada riwayat-riwayat yang otentik, maka dengan mudah isu itu akan terpatahkan dan kehilangan pijakannya. Di antara literatur yang penting dalam kasus ini ialah kitab As-Sunnah Qablat-Tadwîn, karya Muhammad 'Ajja al-Khatib yang membahas dan membuktikan kekeliruan asumsi Galdzieher dan para Orientalis sesudahnya dengan argumentasi yang kokoh.
     

G.    Sikap umat terhadap hadis
Nabi menjamin bahwa umatnya tidak akan tersesat selama umat islam berpegang teguh kepada dua pegangan, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu hadis Nabi yang shahih.[17] Ada yang membuat keraguan bagi umat islam dengan cara mendhaifkan sebagian besar dari hadis yang shahih, katanya yang shahih hanya setengah persen, yang lainnya semuanya palsu, ada yang mempersulit, dikatakan semua hadis sekalipun shahih tidak boleh di amalkan, jika belum manqul dari mulut imam, belum di dengar langsung dari pemimpin. Ada yang berpendapat semua hadis itu lemah, tidak dapat dipakai untuk berhujjah.[18]
Para ulama hadis seperti al-bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu majjah dan lainnya.Mereka itu bukan pada zaman nabi, mereka juga tidak melihat dan mendengar langsung dari nabi.Apa yang diperbuat oleh nabi dan perbuatannya dapat diketahui oleh nabi hanyalah para sahabat, yaitu orang islam yang sejaman dan bertemu dengan nabi. Jadi hanya mereka yang berkata qala nabi dan boleh meriwayatkan hadis darinya.
Orang islam yang tidak sejaman dengan rosul tapi sejaman dengan para sahabat dan dapat belajar padanya disebut tabiin. Bila seorang tabiin berkata ‘saya mendengar dari Nabi’ pasti dia berdusta, sebab dia lahir setelah nabi wafat atau waktu dia masih bayi dan kanak-kanak selanjutnya disebut tabi’u dan tabi’in.mereka tidak sejaman dan tidak bertemu dengan sahabat, guru mereka adalah tabi’in dan selanjutnya disebut syaikh atau guru.

Orang yang menjadi perantara antara al-Bukhari dan Nabi misalnya, dinamakan sanad, dari mereka Bukhari meneri berita hadis. Bila diterima satu riwayat hadis dari seorang syeikh , yang dia terima dari seorang tabi’u al tabi’in, dan tabi’u al tabi’in dari tabi’in, yang diterima dari sahabat, dan sahabat itu mendengar langsung dari Nabi, atau melihat sendiri perbuatan Nabi. Maka jika demikian adanya yang perlu diteliti adalah jalur periwayatan atau sanad tersebut yang perlu didahulukan sebelum materi hadisnya.

H.    Produk-produk kodifikasi hadis
1.Kitab Al-Jami’u
Al-Jami’u, yaitu kitab hadis yang memuat bab dari berbagai dimensi keagamaan, seperti aqidah, hukum, akhlak, sejarah, manaqib, bahkan juga gambaran tentang akhir jaman.
Contoh : kitab al-Jami’u As-Sunnah li at-tirmidhi, kitabhadis jami’u as sahih karya Imam Bukhari, kitab jami’u As-Shahih karya Imam Muslim.
2.Kitab As-sunan dan Al-Mushannaf
Al-sSunan yaitu kitab yang hanya menyebutkan hadis-hadis dari Nabi saja yang terdiri dari bab fikhiyah dan tidak menyebutkan khabar dan atsar. Yang temasuk dalam kategori kitab sunan diantaranya : sunan Abu Dawd, sunan An-Nasa’i, Sunan Ibn Majah.
3.Kitab Mustadrak
Mustadrak, yaitu kitab hadis yang ditulis dimana kriteria penerimaan hadisnya berdasarkan kriteria imam hadis lainnya atau bisa juga diartikan kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis yang rijal sanadnya memenuhi syarat kitab hadis tertentu namun kitab tertentu tersebut tidak menyebutkan hadisnya.
Contoh :
“mustadrak al-Hakim ala sahihi al-Bukhari wa muslim” ditulis oleh Muhammad bin Abdullah bin Muhammad Al-Hakim Abu Abdullah wafat tahun 405 H. Berisi hadis-hadis yang rijal sanadnya shahih menurut Imam Bukhari dan Muslim[19].

4.Athraf
Athraf adalah metode penyusunan kitab hadis dengan cara menyebutkan pangkalnya saja sebagai petunjuk kepada materi hadis seluruhnya. Misalnya hadis al a’mal bi al niyyat, hadis al-Khazim al-Amin dan hadis su’al jibril. Diantara jenis kitab Athraf yang terkenal adalah athraf al-shahihain karya Ibrahim Ibn Muhammad al-Dimasyqiy. (w.401) al Isyraf ala ma’rifat al athraf  karya Aliy ibn al-Hasan al-Dimasyqiy (w.571)
5.Musnad
Musnad adalah kitab hadis yang metode penyusunannya berdasarkan urutan nama sahabat yang meriwayatkan hadis. Penentuan nama sahabatini bisa berdasarkan urutan nama sahabat yang mula-mula masuk islam, atau berdasarkan urutan huruf Mu’jam, urutan nama kabilah, urutan dalam negeri dan lainnya, diantara jenis kitab musnad adalah : Musnad Ahmad ibn hanbal (w.241 H). Musnad al-humaidiy (w.219 H).[20]

BAB II
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penulisan hadist telah di mulai saat Nabi Muhammad SAW masih hidup. Zaman Khulafaurrasyidin, tabi’in, tabi’i at tabi’in. Faktor yang mempengaruhi pembukuan yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’at tabi’in adalah semanagat dorongan dari Rasulullah, antara lain yaitu :
1.Khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya.
2.Khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadis palsu[21].
3.Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.
4.Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Azami. 2006. Hadis Nabawi.  
Al-Khatib, Muhammad Azaj. 1999. Hadis nabi sebelum dibukukan.  Jakarta. Gema insani Press
Khaeruman Bhadri. 2004.  Otentisitas Hadis. Bandung.  PT Remaja Rosdakarya Bandung
Muhammad ajaj al-Khatib, As-sunnah Qabla-Tadwin, Jakarta 1401 H - 1981 M
Saefuddin. 2011. Arus tradisi tadwin hadis.  Yogyakarta. CV. Pustaka pelajar
Tim guru MPGK. 2008. Bahan ajar hadis. Mojokerto. CV. Sinar Mulia Mojosariari



[1]DR. Saifuddin, M.AG .Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historigrafi Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hal 35
[2]Ibid, hal 36
[3]Tim guru MPGK, Bahan Ajar Hadis Madrasah Aliyah, ojokerto. CV. Sinar Mulia Mojosari,2008,  hal 13
[4] M. Ajaj al Khatib, Hadis Nabi sebelum dibukukan, hal 345
[5] Ibid dari M. Ajaj al Khatib
[6] Azami, Hadis Nabawi, hal 75
[7]Ibid , hal 94-95
[8]Ibid, hal 94-95
[9]Prof. Dr. M.M. Azami. hadis nabawi hal 75
[10] Ibid, hal 75
[11] Bhadri Khaeruman,Ontentitas hadis, hal 15
[12]Sohari sahrani, Ulumul Hadis, hal 66
[13] Ibid hal 185
[14] Drs. H. Mudasir,ilmu hadis, bandung, CV pustaka setia, 2010 hal 106
[15] Hasjim abbas, kritik matan hadis hal 22
[16] Ibit kritik matan hadis hal 23
[17] Ibid dari otentitas hadis hal 62
[18] Ibid hal 64
[19]Tim guru , bahan ajar Hadis Madrasah Aliyah. Mojokerto, hal ; 125
[20] Ibid hal 124-127
[21]Sohari sahrani, Ulumul Hadis, hal 66

Belum ada Komentar untuk "Contoh Makalah Kodifikasi Hadis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel