Contoh Makalah Ikhlas dalam Beramal (Pentingya Kejujuran)

Ikhlas dalam Beramal (Pentingya Kejujuran)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits
Dosen pengempu:
A. Maesur, MHI




Disusun Oleh:
Beni Zakarya (931202214)
Yusuf Al Muqorobin (931202314)


JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum  warahmatullahi wabarakatuh Segala puji hanya untuk Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Sholawat dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Segala puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan segala karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan pembuatan makalah yang telah diberikan kepada penulis dengan judul “Memahami Hadits yang Berkenaan dengan Ikhlas dalam beramal”.
Penulis berharap agar semua pengetahuan dan pengalaman yang telah penulis peroleh selama penyusunan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bekal dikemudian hari
Akhirnya, atas segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis apabila terdapat kekurangan dan kesalahan mohon maaf, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang hendak menambah wawasan dan pengetahuan, kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikan dengan baik, penulis menyampaikan terima kasih.

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR..................................ii
DAFTAR ISI................................................1
BAB I PENDAHULUAN............................2
A.  Latar Belakang.......................................2
B.   Rumusan Masalah.................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................3
A.   Apakah Ikhlas itu..................................3
B.  Hadits tentang Ikhlas dalam Beramal....4
C.   Pemahaman terhadap Hadits.................5
D.  Pendapat para ‘Ulama............................7
BAB III PENUTUP.....................................8
A.  Kesimpulan............................................8
B.   Saran......................................................9
DAFTAR PUSTAKA..................................10


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202)

B.   Rumusan Masalah
1.  Apakah ikhlas itu?
2.  Hadits tentang Ikhlas dalam Beramal?
3.  Bagaimana pemahaman terhadap Hadits tersebut ?
4.  Bagaimana pendapat para ‘Ulama tentang pentingnya ikhlas ?

BAB II
PEMBAHASAN



A.  Pengertian Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu itu bersih dan tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal. Sedangkan secara istilah  ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Ikhlas adalah intisari daripada iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika dia tidak iklas. Allah SWT berfirman dalam surat Al-An’am ayat 162 yang berbunyi ;
ان صلا تي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العا لمين   قل
Rasulallah SAW bersabda 
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal seseorang kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan ridho-Nya”
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla”.
Sabda Rasulullah SAW :“Sesungguhnya Allah tidak akan menilai bentuk tubuh kamu dan tidak pula menilai rupa kamu, tetapi Allah hanya menilai kepada hatimu (niat yang ikhlas).” (HR. Muslim)
Menurut Imam AL-Ghozali menegaskan bahwa ikhlas adalah shidqum niyyah fil a’amal yaitu niat yang benar-benar ketika melakukan pekerjaan. Dengan kata lain, setiap amal sholeh dan kebajikan yang ingin dilakukan semestinya berorientasi kepada Alloh. Tanpa keikhlasan semua amal kebaikan yang dilakukan sangat mudah terkena penyakit hati yang sangat berbahaya yaitu riya’ dan bangga hati. 


B.  Hadits tentang Ikhlas dalam Beramal
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
 )رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة( 

Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab radiyallahu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). 

C. Pemahaman Terhadap Hadits
Karena merupakan hadits yang masyhur di kalangan ‘Ulama, maka hadits ini mendapat perhatian khusus dari para ‘Ulama. Yang salah seorangnya adalah Imam Nawawi. Beliau mengatakan bahwa niat itu sebagai barometer atau tolak ukur untuk menilai sahnya amalan. 
Sebagaimana beliau menjelaskan lafaz ( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ) Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Akan tetapi menurut Imam ibnu Daqiq, bahwasanya dalam kalimat ini ada lafaz yang dibuang, dan para ‘Ulama memperselisihkannya, adapun penyebab terjadinya perbedaan terhadap lafaz yang di takdirkan dalam matan ini dikarenakan terdapat perbedaan pandangan ‘Ulama Fiqh terhadap posisi niat didalam ibadah. Pertama, mereka yang yang mensyaratkannya dalam ibadah, Sedangkan pendapat yang kedua, yaitu mereka yang tidak mensyaratkannya dalam ibadah. 
Adapun pendapat pertama menafsirkan باالنية الاعمال صحة ٳن (sesungguhnya sahnya amal itu dengan niat ). Sementara yang yang kedua menafsirkan باالنية الاعمال كمال ٳن (bahwasanya sempurnanya amal itu dengan niat). Akan tetapi, ibnu Abdul Barr melemahkan pendapat yang kedua karna para jumhur Fuqaha’ menjadikan niat sebagai syarat dalam ibadah untuk memetik pahala dari ibadah tersebut. 
Akan tetapi, kita bisa saja mengambil pendapat yang kedua jika kita mengaitkan hadits ini dengan tema makalah ini yaitu Ikhlas dalam beramal, hal ini disebabkan ikhlas sangat erat kaitannya dengan iman. Akan tetapi, tingkatan iman setiap muslim itu berbeda-beda yang satu dengan yang lainnya, dan demikian juga tingkat keikhlasannya. Pendapat pemakalah ini di perkuat oleh ibnu Ujaibah yang berpendapat bahwasanya terdapat 3 tingkatan didalam ikhlas. Yang pertama ialah ikhlas orang awam, yaitu mengesampingkan makhluk dalam dalam hal beribadah kepada tuhan seraya memohon ganjaran dunia dan akhirat. Yang kedua adalah ikhlas orang Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan harapan ganjaran akhirat. Kemudian yang terakhir adalah ikhlasnya orang yang Khawwasul-Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan tidak mengharapkan keduanya akan tetapi dengan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu semata-mata rindu dan cinta kepada Allah SWT. 
Kemudian jika mengaitkan hadits tadi terhadap posisi ikhlas didalam Tauhid, maka pemakalah menyimpulkan bahwa ikhlas harus dimiliki oleh setiap muslim, karena setiap ibadah harus ditujukan kepada Allah. Sebagaimana syarah terhadap lafaz الاالله اله لا menurut ibnu Qayyim.  Hal ini senada dengan perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW didalam surat Az-Zumar ayat 14-15.
Artinya : Katakanlah (Muhammad) hanya allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agamaku. Maka sembahlah selain dia sesukamu (wahai oran-orang Musyrik). Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang yang merugikan diri sendiri dan keluarganya pada hari kiamat, ingatlah yang demikian itu kerugian yang nyata. 
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang yang menyembah kepada selain Allah adalah perbuatan orang-orang syirik.
Kemudian pada lafaz ( وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى )
 “Dan setiap orang akan hanya mendapatkan apa yang diniatkannya.” Imam Nawawi menjadikan lafaz ini sebagai dalil bahwa tidak boleh mewakilkan dalam beribadah dan tidak boleh mewakilkan niat dalam beribadah. Dikecualikan hal ini yaitu dari membagi-bagikan zakat dan menyembelih hewan qurban.  Hal ini sesuai dalam kaidah fiqih.  Akan tetapi, menurut As-Sa’di bahwa kalimat ini juga mengandung pengertian bahwa sempurnanya iman seseorang itu tergantung kepada niatnya.
Kemudian dalam lafaz
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، )
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .(
“Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasulnya, Dan barang siapa hijrah karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang akan diniatkannya itu.”
Menurut Imam Nawawi sebagaimana yang ia nukil dari pendapatnya Imam ibnu ‘Arabi bahwa هجرة itu mengandung dua makna, yaitu : حرب (lari) dan طلب (mencari).
Jenis yang pertama, yaitu حرب terbagi menjadi 6 macam, yaitu : Pertama, keluar dari negeri kafir yang harus diperangi. Kedua, keluar dari negeri bid’ah. Ketiga, keluar dari tempat yang didominasi keharaman. Keempat, menjauhi dari gangguan fisik. Kelima, keluar karna takut penyakit. Dan yang keenam, keluar karena takut terhadap gangguan pada harta-harta nya.
Adapun jenis yang kedua, yaitu طلب terbagi kepada 10 macam, yaitu : Pertama, bepergian untuk mendapatkan pelajaran dari kebesaran Allah. Kedua, pergi haji. Ketiga, bepergian untuk berjihad. Keempat, bepergian untuk mencari penghidupan. Kelima, bepergian dengan maksud mencari nafkah. Keenam, menuntut ilmu. Ketujuh, menuju tempat yang dimuliakan Allah. Kedelapan, menuju perbatasan untuk berjaga-jaga disana. Kesembilan, mengunjungi saudara. Dan yang kesepuluh, mencari dunia.  Adapun kesembilan macam sebelumnya merupakan urusan agama, yang jika dilaksanakan dengan niat yang ikhlas, maka akan mendapatkan 2 ganjaran, yaitu kebagusan niat dan perintah agama. Sedngkan yang terakhir, jika di laksanakan dengan niat yang ikhlas, hanya akan mendapatkan satu balasan pahala, yaitu dari kebagusan niat saja.
Dari kalimat ini juga Imam Nawawi menyimpulkan, bahwa yang dinamakan dengan ikhlas itu adalah mengkhususkan ‘amal (ibadah) hanya kepada Allah saja, sedangkan bagi orang yang melakukan ibadah dikarenakan Allah dan makhluk, maka amalannya itu tertolak. 
Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW.
“Allah berfirman : Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan dimana ia mempersekutukan sesuatu (bersamaku), maka aku berlepas diri darinya. 

 D.  Pendapat para ‘Ulama tentang Pentingnya Ikhlas
Makhul berkata, “Tidak seorang pun yang berbuat ikhlas selama 40 hari, melainkan akan terpancar sumber-sumber hikmah dari hati dan lisannya”. 
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “jika seseorang mengerjakan sesuatu dengan ikhlas, maka dia akan terlepas dari aneka macam godaan dan riya’.” 
Ketika menerangkan ungkapan Ibnu Athaillah, “Amal ibadah itu ibarat raga yang berdiri, dan rohnya adalah adanya rahasia ikhlas didalamnya.” Ibnu Ujaibah berkata, “Semua amal itu ibarat tubuh, dan rohnya adalah adanya ikhlas di dalamnya. Tubuh tidak mungkin dapat berdiri tegak kecuali dengan adanya roh. Jika tidak ada roh, maka dia adalah mayat. Begitu juga, amal jasmani dan amal hati tidak akan sempurna kecuali ada keikhlasan didalamnya. Jika tidak, maka dia hanya formalitas belaka. 
Suatu ketika ada orang yang bertanya kepada Sahal ibn Abdullah At-Tustari, “Apakah yang paling keras terhadap nafsu ?” Beliau menjawab, “Ikhlas. Sebab, didalam ikhlas nafsu tidak memiliki bagian. 

BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan



عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
)رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة( 
Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab radiyallahu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam bersabda: Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi mengatakan bahwa niat itu sebagai barometer atau tolak ukur untuk menilai sahnya amalan
Ibnu Ujaibah yang berpendapat bahwasanya terdapat 3 tingkatan didalam ikhlas. Yang pertama ialah ikhlas orang awam, yaitu mengesampingkan makhluk dalam dalam hal beribadah kepada tuhan seraya memohon ganjaran dunia dan akhirat. Yang kedua adalah ikhlas orang Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan harapan ganjaran akhirat. Kemudian yang terakhir adalah ikhlasnya orang yang Khawwasul-Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan tidak mengharapkan keduanya akan tetapi dengan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu semata-mata rindu dan cinta kepada Allah SWT.

B. SARAN

Demikianlah makalah Hadits yang membahas tentang “Hadits ikhlas dalam beramal” ini, semoga dapat jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalm makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh karena itu kami harapkan saran dan kritikan dari teman-teman maupun dosen pengampu yang bersifat membangun untuk lebik baik dimasa yang akan datang.  


DAFTAR PUSTAKA



Rahman Fatur, Al Hadisun Nabawi, Yogyakarta:Menara Kudus, 1996

Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2000.

Muhammad Abu Syuhbah, Kutubussittah, Surabaya; Pustaka Progresif. 1999.

Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi, Syarah Arba’in Nawawiyah, Jakarta; Darul Haq. 2008.

Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Jakarta; Qithi Press. 2005.

Imam As-Syuyuthi, Ashbahu wan Nazhair.

Haris Riadi. Kitab Tauhid. 

Al-qur’an, Al-Jamil. Bekasi; Cipta Bagus Segara.

Abu Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiah.

1 Komentar untuk "Contoh Makalah Ikhlas dalam Beramal (Pentingya Kejujuran)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel