Contoh Tafsir TAFSIR AL-QUR’AN SURAH AL-FATIHAH

TAFSIR AL-QUR’AN SURAH AL-FATIHAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Dosen pengampu :
M. Miftahul Huda, M.Pd.I


Di susun oleh :
Nur Latifatur Rohmah (931310414)
Dian Ervina Nuraini (931310614)
Wiwis Ayda Eka Risna (931311714)
Yusrina Amalia Rozana (931313314)

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015




KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Tafsir dengan judul “Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Fatihah” tepat pada waktunya.
Tiada harapan sedikitpun dari pemakalah kecuali makalah ini bisa bermanfaat bagi kita mahasiswa-mahasiswi STAIN KEDIRI. Tidak ada gading yang tak retak, sehingga ketika pembaca menemukan kesalahan kesalahan dalam makalah harap dimaklumi.
Harapan pemakalah, semoga makalah ini benar-benar bermanfaat dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi dan memudahkan kita dalam usaha mencari ilmu, dan memberi pahala yang setimpal pula bagi kita semua. Amin.

Kediri, 12 Maret 2015.


Pemakalah


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………... i
KATA PENGANTAR…………………………………………... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………  iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah………………………………………  1
C. Tujuan…………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Fatihah…………………………………… 2
B. Nama lain dari surat al-fatihah………………………….. 2
C. Azbabun Nuzul surat al-fatihah…………………………. 3
D. Tafsir surat al-fatihah……………………………………. 3
E. Kandungan umum surat al-fatihah………………………. 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………… 11
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 12

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril a.s yang berfungsi sebagai hidayah atau petunjuk bagi semua umat manusia. Dari banyaknya 114 surah dalam Al-Qur’an, surah Al Fatihah merupakan surah yang paling populer, dikenal mulai dari kalangan anak-anak sampai dewasa, dari kalangan kaum dhuafa sampai kalangan yang bertahta. Belum ada suatu penelitian yang menjelaskan mengapa surat al-Fatihah itu begitu amat terpopuler dan dikenal luas masyarakat padahal surat yang pertama kali diturunkan adalah surat al-Alaq.
Surat al-Fatihah berada diurutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh ayat. Tema-tema besar dalam Al-Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang beruntung karena taat kepada Allah, semua itu tercermin dalam surah al-Fatihah. 

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian surah al-fatihah?
2. Bagaimana nama lain dari surah al-fatihah?
3. Bagaimana asbabun nuzul dari surah al-fatihah?
4. Bagaimana tafsir dari surat al-fatihah?
5. Bagaimana kandungan umum dari surat al-fatihah?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian surah al-fatihah
2. Mengetahui nama-nama lain dari surah al-fatihah
3. Mengetahui azbabun nuzul surah al-fatihah
4. Mengetahui tafsir dari surah al-fatihah
5. Mengetahui kandungan umum dari surah al-fatihah



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Fatihah
Al-Fatihah berasal dari kata fataha, yaftahu, fathah, yang berarti pembukaan dan dapat pula berarti kemenangan. Dinamai demikian karena dilihat dari segi posisinya surat Al-Fatihah berada pada bagian awal yang mendahului surat-surat lain. Sedangkan Al-Fatihah dalam arti kemenangan dapat dijumpai pada nama surat yang ke 48 yaitu berjudul al-fath yang berarti kemenangan. Sedangkan al-fatihah dilihat dari segi ajarannya yang memuat pokok-pokok ajaran yang terkandung dalam surat-surat lainnya dalam Al-Qur’an, Surat Al-Fatihah adalah surah yang diturunkan di Mekah (makkiyyah) dan terdiri dari 7 ayat. Al-Fatihah merupakan surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an. Sering disebut Ummul Qur'an (induk Al-Quran) atau Ummul Kitab (induk Al-Kitab) karena dia merupakan induk dari semua isi Al-Quran. Dalam kaitan ini Tafsir Departemen Agama RI, menyatakan surat al-fatihah ini dinamai Umm al-Qur’an atau Umm al Kitab, karena dia merupakan induk, pokok, atau basis bagi al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa al-fatihah ini mengandung pokok-pokok isi al-Qur’an. 
B. Nama-nama lain dari surat al-fatihah
Menurut kitab khazanatul-Asrar karanganal-Ustadz Muhammad Hakky an-Nazily, Surah Al-Fatihah mempunyai 34 nama. Nama-nama itu ada yang diambil dari berbagai hadis Nabi  mengenai al-fatihah dan ada pula nama yang ditetapkan oleh para Sahabat dan Tabi’in. 5 diantaranya adalah:
1. AL-FATIHAH ATAU FA-MATUL-KITAB (pembuka atau pembuka kitab)
2. UMMUL-KITAB (induk kitab)
3. UMMUL-QUR’AN (induk al-Quran)
4. AL-WAQIAH(tameng)
5. AS-SAB’UL MATSANYA (tujuh yang berulang-ulang) 

C. Asbabun nuzul surat al-fatihah

Sebagai mana telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholib mantu Rosulullah saw : “surat al-fatihah turun di Makkah dari perbendaharaan di bawah’arsy”. Riwayat lain menyatakan, Amr bin Shalih bertutur kepada kami :”ayahku bertutur kepadaku, dari al-kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “ Nabi berdiri di Makkah, lalu beliau membaca dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Kemudian orang-orang Quraisy mengatakan, “semoga Allah menghancurkan mulutmu”. Dari Abu Hurairah ia berkata Rosulullah saw bersabda saat Ubai bin Ka’ab membacakan Ummul Qur’an pada beliau, “demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Allah tidak menurunkan semisal surat ini dalam Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an. Sesungguhnya surat ini adalah as-sab’ul matsani (tujuh kalimat pujian) dan al-qur’an al-‘azhim yang diberikan kepadaku.

D. Tafsir surat al-fatihah
Tafsir surah al-fatihah adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ[الفاتحة : 1]
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Kalimat basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom “nama Allah” berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah yang seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama lagi adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.
Allah adalah Dzat yang harus disembah. Hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [الفاتحة : 2]
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal saleh. 
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  [الفاتحة : 3]
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 
Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan. 
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahman dan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus. 
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.     
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ [الفاتحة : 4]
Yang menguasai di hari Pembalasan 
Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan  huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik  bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT. 
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.”  Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan. Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan neraka. 
Mengapa dikatakan Allah menguasai hari pembalasan? Bukankah Allah juga menguasai semua hari? Hal itu karena pada hari pembalasan, semua kekuasaan lenyap. Tak ada kekuasaan dan pemerintahan kecuali hanya milik-Nya semata.  Hal ini sesuai dengan ayat-Nya yang lain yang berbunyi: Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan yang Maha Pemurah (QS. Al-Furqan; 26).   
Kepercayaan terhadap adanya hari kiamat, hari akhir, atau hari pembalasan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an, kehidupan masyarakat yang berpedoman dengan metode Allah yang tinggi tidak akan terwujud selama kepercayaan terhadap hari kiamat tidak ada dalam diri mereka; selama hati mereka belum betul-betul menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan di dunia bukanlah akhir dari apa yang akan mereka dapatkan.      
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ [الفاتحة : 5]
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.
Meski diperintahkan untuk hanya menyembah Allah semata, manusia tetap diberi kebebasan untuk memilih, apakah sudi menyembah-Nya atau tidak, beriman atau kafir kepada-Nya, taat atau membangkang kepada-Nya. Padahal Allah bisa saja menciptakan semua makhluk-Nya jadi seperti malaikat yang hanya menyembah-Nya dan tidak pernah membangkang pada-Nya. Namun, Allah tetap memberikan kebebasan untuk memilih pada diri manusia agar manusia betul-betul menyembah Allah karena pilihannya sendiri, bukan karena paksaan. Menyembah Allah karena betul-betul menyadari sepenuhnya bahwa Allah memang layak dan seharusnya untuk disembah. Jika kesadaran itu semakin besar dan merasuk dalam hati manusia, ia pun menyembah Allah karena didasari rasa cinta kepada-Nya. 
Setelah menyebutkan “hanya kepada-Mu kami menyembah”, Allah lantas menyebutkan “hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan”. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa “kami tidak menyembah kepada selain Diri-Mu, dan kami tidak meminta pertolongan kecuali kepada Diri-Mu”. Permintaan tolong hanya kepada Allah akan menghindarkan kita dari hinanya kehidupan dunia. Saat kita meminta tolong kepada selain Allah, misalnya manusia, maka kita sebenarnya meminta pertolongan kepada makhluk yang memiliki berbagai keterbatasan. Manusia bisa saja memberikan pertolongan kepada orang lain sesuai kemampuan dan kekuatannya. Manusia yang saat ini mampu dan kuat boleh jadi dalam sekejap bisa menjadi orang yang sangat lemah dan tidak memiliki kemampuan apapun. 
Allah bermaksud membebaskan orang-orang beriman dari hinanya kehidupan dunia. Allah pun meminta mereka agar hanya meminta pertolongan kepada Diri-Nya yang Maha Hidup dan tak pernah mati; Maha Kuat dan tak pernah lemah; Maha Kuasa dan tak bisa dikuasai oleh apapun serta siapapun. Jika kita betul-betul meminta pertolongan kepada Allah, Dia pun akan menyertai kita. Dia akan memberikan kekuatan saat kita lemah. Dia akan memberi petunjuk saat kita kebingungan memilih antara kebenaran dan kebatilan. 
Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.   
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ [الفاتحة : 6]   
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, 
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang kepada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengadakan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang dibentangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya didunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu.
Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jaln yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Quran. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.” 
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط).  Ketiga, dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط). Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.  
Kataاهْدِنَا  berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk baik yang berupa perkataan maupun perbuatan kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. 
Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan baik mereka. Hidayah keempat adalah hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk masuk Islam.  
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ [الفاتحة : 7]
 (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. 
Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.  
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.

E. Kandungan umum surah al-fatihah
1. Kandungan tauhid atau akidah
Pelajaran tauhid dalam surat mulia ini amat beragam diantaranya : pujian terhadap Allah SWT, sebagaimana dalam ayat kedua ketiga dan ke empat: 
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
(segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Penguasa hari pembalasan).
Selain penegasan pada nama-nama Nya Allah juga menegaskan akan peribadatan dan peyembahan para hamba-Nya, sebagaimana dalam ayat kelima:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
(hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-mu lah kami mohon pertolongan).
2. Kandungan hukum
Hukum yang dikandung al-fatihah antara lain :
Kewajiban untuk mengikhlaskan niat seluruh ibadah hanya untuk Allah semata, sebagaimana terkandung dalam ayat kelima: 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) 

(hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-mu lah kami mohon pertolongan).
3. Kandungan nasihat
Banyak nasihat yang dikandung surat agung ini. Diantaranya:
a. Peringatan akan adanya hari pertanggung jawaban amalan kita semua, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat keempat :
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ(4)
(penguasa hari pembalasan)
b. Motivasi untuk meniti jalan yang lurus yakni jalanya orang-orang yang allah karuniai kenikmatan, sebagimana dalam ayat keenam dan ketujuh
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 7]
 (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat)


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Surat Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Sedangkan kalimat yang menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim” yang merupakan doa yang termasuk jenis ibadah..Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudahterkandung di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin.”Hal itu disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin”Allah adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb sebagaimana di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin”.Pada ayat ini kata ‘alamin adalah segala makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.

DAFTAR PUSTAKA
Abbudin Nata. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan.  jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002
Al-Qarni.Tafsir Muyassar.Jakarta: Qisthi Press.
http://cahayapurnama.com/nama-nama-surah-al-fatihah.
http://yulihaflah.blogspot.com/2013

Belum ada Komentar untuk "Contoh Tafsir TAFSIR AL-QUR’AN SURAH AL-FATIHAH"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel